“Mungkin kasus 39 kapal bekas ini khas pengalaman negara Dunia Ketiga: karena mau murah, dibelilah barang bekas yang ujung-ujungnya, ya, mahal juga. Apalagi kalau biaya penyelamatan kapal LST yang hampir tenggelam itu ikut dihitung,” catat wartawan Tempo, Ivan Haris.
Tulisan lain menyusul berturut-turut. Mulai dari “Anggaran Itu, Mar’ie Memangkas Rp 327 Miliar”, “Habibie & Instruksi Mandataris MPR”, “Dihadang Ombak Besar dan Biaya Besar”, dan “Habibie dan Kapal Itu: Klimaks Kapal”.
“Tanpa lebih dahulu kita menjeling isi kocek, teknologi akan tiap kali membuat kita silau dan terpukau. Dan mungkin juga itulah awal dari sebuah bencana,” tulis Isma Sawitri dalam artikel “Habibie dan Kapal Itu: Klimaks Kapal”.
Baca Juga:Ibu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa HukumSurvey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan Ketiga
Fikri Jufri menyatakan laporan-laporan itu memang terlalu memojokkan Habibie. Karena itulah Soeharto geram. Fikri heran atas isu yang beredar bahwa pemberedelan dilakukan karena Fikri dekat dengan Jenderal Benny Moerdani, yang tidak disukai pendukung Soeharto. Dugaan lain yang lebih masuk akal: Soeharto kesal dengan Tempo karena mengkritik pemerintahannya.
Pada 27 Juni 1994 Soeharto sempat mengutus Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto, untuk bertemu Erik Samola, Pemimpin Umum Tempo. Pertemuan terjadi di Hotel Sultan dan dihadiri pula oleh GM dan Fikri.
Intinya: Hashim memberi kesempatan kepada Tempo untuk terbit kembali apabila dirinya diberi kesempatan membentuk tim yang bisa mengangkat pemimpin redaksi sekaligus menyeleksi siapapun yang masuk dalam jajaran redaksi. Dengan begini, keredaksian Tempo akan diisi orang-orang Hashim.
“Bapak boleh jadi seorang negosiator yang ulung, tapi dalam hal Tempo, tidak perlu ada negosiasi. Ijin terbit Tempo sudah dicabut. Kalau mau bisa hidup lagi ya (jalannya) tadi seperti saya katakan,” kata Hashim seperti dicatat GM.
Dalam rapat yang kemudian dilakukan di kediaman GM, para petinggi Tempo kala itu sepakat untuk menolak. Bagi mereka, pilihan itu sama saja menyerah pada kesewenang-wenangan pemerintah. Diberedel masih bisa membuat GM dan kawan-kawan hidup, tetapi menyerah pada Hashim sama saja dengan menanggung malu seumur hidup.