Pada 20 Juni 1994 Soeharto memanggil Harmoko dan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono ke kediamannya. Harmoko menyarankan kepada bosnya agar Tempo diberedel saja. Kendati ada menteri yang tak setuju, vonis beredel tak terhindarkan.
Esoknya, pada 21 Juni 1994, tepat hari ini 26 tahun lalu, Direktur Jenderal Pers dan Grafika Departemen Penerangan Subrata meneken surat pemberedelan Tempo. Di hari itu tak cuma Tempoyang dibubarkan. Dua media lain, yaitu Majalah Editor dan Tabloid DeTik, juga turut diberedel. Seperti dicatat buku Perkembangan Menonjol Pers Indonesia Periode 1991-1994 susunan Pusat Data dan Analisa Tempo, hari itu adalah “salah satu hari tergelap dalam sejarah pers Indonesia.”
Tempo menerbitkan setidaknya enam laporan terkait pembelian 39 kapal perang bekas dari Jerman Timur yang mengakibatkan ia diberedel. Seminggu sebelumnya, satu tulisan pertama yang terpisah dari enam artikel itu muncul pada 4 Juni 1994 dengan judul “Jerman Punya Kapal, Indonesia Punya Beban”. Ketika tulisan dimuat, ada 9 kapal perang yang sudah tiba di Indonesia.
Baca Juga:Ibu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa HukumSurvey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan Ketiga
Tempo mendapat informasi bahwa Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad belum menyetujui anggaran pembelian kapal tersebut. Namun orang-orang yang seharusnya mengetahui hal itu menolak memberikan jawaban. Tempo lantas menelisik harga kapal perang yang diperkirakan mencapai 27,5 miliar rupiah atau senilai 12,7 juta dolar AS.
Entah kenapa, anggaran pembelian yang diajukan Menristek B.J. Habibie kala itu mencapai 1,1 miliar dolar AS. Alasannya karena ada biaya lain-lain seperti biaya perbaikan, transportasi, dan pembuatan pangkalan. Dengan anggaran sejumlah itu, Tempo menulis Indonesia “akan lebih baik” membeli kapal perang “yang baru sama sekali.”
Pada edisi 11 Juni 1994, enam artikel investigasi tentang pembelian kapal keluar sekaligus. Investigasi itu seakan-akan melucuti kredibilitas Habibie, yang membeli kapal atas perintah Soeharto.
Tulisan pertama berjudul “Plus Minus Armada Bekas”. Bukan hanya membedah anggaran yang dibutuhkan Indonesia untuk mendatangkan kapal kapal perang, tulisan ini juga membongkar kelemahan kapal-kapal tersebut, termasuk ketakutan Habibie ketika menyalakan sebuah kapal tua. Di akhir artikel, Tempo menulis analisis yang intinya: Indonesia merugi.