“ADA pers yang mengeruhkan situasi dan mengadu domba. Ini gangguan pada stabilitas politik dan nasional. Kalau tak bisa diperingatkan, akan kita ambil tindakan,” kata Soeharto pada 9 Juni 1994.
Omongan Soeharto itu melanjutkan pidatonya soal pembelian kapal perang bekas armada Jerman Timur. Orang nomor 1 di Indonesia kala itu mengaku pembelian kapal tersebut adalah inisiatifnya sendiri.
Fikri Jufri, Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, seketika menepuk jidatnya. Jakarta geger karena pidato Soeharto. Jelas saja Fikri kalang-kabut. Tidak ada satu pun media di Indonesia kala itu yang memberitakan pembelian kapal perang eks Jerman Timur. Fikri mafhum, yang dimaksud Soeharto saat itu adalah Tempo—dan ketika diincar Soeharto, tentu media tidak akan bernasib baik.
Baca Juga:Ibu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa HukumSurvey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan Ketiga
Sebelumnya Tempo sudah pernah diberedel pemerintah yaitu pada 1982. Pemberedalan ini dilakukan Menteri Penerangan Ali Moertopo melalui Departemen Penerangan. Secara normatif, seperti dicatat Janet Steele dalam Wars Within: Pergulatan Tempo, Majalah Berita sejak Zaman Orde Baru (2007), keterangan dalam surat keputusan Departemen Penerangan hanya menyebut Tempo telah melanggar kode etik jurnalistik tentang “pers yang bebas dan bertanggung jawab” (hlm. 92).
Pemberedelan itu ditengarai gara-gara liputan Tempo soal kampanye Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta. Kampanye yang awalnya berlangsung damai tiba-tiba menjadi ricuh. Sejumlah massa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mendatangi lokasi dan menyerang anggota Golkar, termasuk membakar podium. Dengan liputan itu, Tempo dianggap telah melanggar larangan memberitakan konflik dalam pemilihan umum.
Sebagaimana dicatat Steele, Pemimpin Redaksi TempoGoenawan Mohamad (GM), meski tak punya bukti, memercayai pemberedelan 1982 diusulkan Harmoko, yang saat itu menjabat ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
“Menurut Goenawan, sangat masuk akal Harmoko punya kepentingan bisnis sehingga ingin Tempo ditutup,” urai Steele.
Tapi saat itu Tempo berhasil selamat. Beberapa minggu kemudian majalah ini terbit kembali lewat serangkaian lobi para redakturnya kepada beberapa pejabat Orde Baru.
Bayang-bayang pemberedelan 1982 muncul kembali di tahun 1994 ketika Fikri menepuk jidatnya. Peristiwa pada 1994 seperti melanjutkan “dendam” Harmoko—yang ketika itu sudah tiga periode menjabat Menteri Penerangan—untuk menggerus majalah berita mingguan ini.