Dikisahkan bahwa pada masa berdirinya Kerajaan Mataram, terjadi gelombang tsunami yang menghantam Laut Selatan, sebuah peristiwa monumental berabad-abad yang konon bersamaan dengan berdirinya kerajaan tersebut.
Panembahan Senopati lantas memanfaatkan peristiwa ini dengan menciptakan mitos Nyi Roro Kidul sebagai strategi mendapatkan dukungan politik dan melegitimasi pemerintahannya. Mitos ini kemudian diwariskan secara turun-temurun, memberikan landasan spiritual dan keabsahan pada kepemimpinan Panembahan Senopati serta keturunannya.
Menyadur buku ‘Para Raja dan Pahlawan Perempuan, serta Bidadari dalam Folklore Indonesia’ karangan Wiyatmi dkk, lokasi bertapa Panembahan Senopati saat ini dianggap sebagai situs bersejarah yang telah dibangun sebuah cempuri.
Baca Juga:Ibu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa HukumSurvey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan Ketiga
Cepuri ini berfungsi sebagai tempat doa sebelum acara labuhan yang sering diadakan oleh pihak Keraton Jogja pada hari-hari tertentu. Di dalam cempuri tersebut, terdapat dua batu yang dipercayai sebagai tempat duduk Panembahan Senopati dan Ratu Kidul, yang kemudian dikenal sebagai batu cinta.
Tempat ini dianggap sebagai titik pertemuan antara Panembahan Senopati dan Ratu Kidul yang menandai perjanjian mereka. Perjanjian ini bermula dari permintaan Panembahan Senopati kepada Ratu Kidul untuk mendukungnya menjadi penguasa Mataram.
Hingga saat ini, pihak Keraton Jogja dan masyarakat masih melaksanakan upacara adat labuhan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui Nyi Roro Kidul. Selain itu, upacara labuhan juga diartikan sebagai tindakan politik balas budi terhadap Nyi Roro Kidul.
Dari mitos Nyi Roro Kidul, terlihat bahwa eksistensinya tidak dapat dilepaskan dari pemerintahan Panembahan Senopati. Sebagian besar masyarakat Jawa meyakini keberadaan tokoh Nyi Ratu Kidul sebagai penguasa dan penjaga Laut Selatan, meskipun dalam logika manusia sulit untuk dibuktikan. (*)