PATAH hati tidak hanya bisa menyebabkan gangguan pada kesehatan mental, tapi juga fisik. Menurut sebuah studi, wanita yang patah hati lebih berisiko meninggal dunia akibat penyakit jantung dan serangan jantung. Hal ini sebenarnya disebabkan oleh kondisi yang disebut Takotsubo cardiomyopathy, atau yang dikenal juga dengan istilah ‘sindrom patah hati’.
Sindrom patah hati adalah gangguan fungsi jantung yang bersifat sementara. Kondisi ini disebabkan oleh emosi yang berlebihan, seperti saat seseorang patah hati atau mengalami peristiwa emosional lainnya.
Meski bersifat sementara, sindrom patah hati dapat menimbulkan dampak yang serius.
Baca Juga:Ibu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa HukumSurvey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan Ketiga
Studi yang dipublikasikan di Journal of the American Heart Association pada 2021 itu menganalisis 135.463 kasus sindrom patah hati. Dari riset tersebut, peneliti menemukan 88,3 persen kasus sindrom patah hati dialami oleh wanita, terutama yang berusia paruh baya atau lebih tua.
Hasil penelitian juga menunjukkan wanita yang lebih tua berpotensi 10 kali lebih besar terdiagnosis ‘sindrom patah hati’ dibandingkan pria atau wanita yang lebih muda pada usia berapapun.
Ahli jantung dari Orange County, California, Jennifer Wong menjelaskan sindrom patah hati lebih rentan muncul pada wanita akibat tekanan emosional. Terlebih, stres cenderung lebih berdampak pada wanita dibandingkan pria.
“Secara umum, penyakit kardiovaskular lebih banyak menyerang pria dibanding wanita. Namun, ada sebuah teori yang mengatakan bahwa seringkali ada mekanisme lain yang lebih umum terjadi pada wanita, seperti kardiomiopati yang dipicu oleh stres,” ujar Wong, dikutip dari Psych Central, Kamis (13/6/2024).
Tak hanya itu, risiko sindrom patah hati pada wanita juga dapat dipicu oleh stres eksternal, serta kombinadi dengan beberapa faktor lain seperti jantung yang semakin melemah dan lonjakan hormon.
“Kami percaya ini (sindrom patah hati) disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor, seperti jantung yang melemah seiring pertambahan usia. Selain itu, lonjakan hormon stres juga dapat memengaruhi jantung,” tutur peneliti yang memimpin riset tersebut, Susan Cheng, MD, MPH, MMSc.
Sindrom patah hati diakui secara luas pada 2005 saat tim peneliti dari John Hopkins menerbitkan laporan tentang kasus-kasus yang terdokumentasi di New England Journal of Medicine.