KRT Permadi Satrio Wiwoho atau Permadi SH malang melintang sebagai aktivis pergerakan adalah sosok yang unik. Tak disangka oleh Permadi, ketika bertemu dengan Sunan Solo, pada 1995, ia mendapat pangkat dan gelar baru.
“Saya diberi pangkat bupati sepuh; gelar kanjeng raden tumenggung, nama tambahan Satrio Wiwoho,” tokoh parapsikologi ini. Jadilah namanya KRT Permadi Satrio Wiwoho, yang artinya ‘satria yang dijagokan’.
Tapi Permadi tetaplah Permadi. “Saya terima dan mengucapkan terima kasih. Tetapi itu tidak mempengaruhi kehidupan saya,” katanya lagi. Saat ia masih anggota Fraksi PDIP DPR, mewakili konstituen Madiun, walau ia mengaku sebenarnya bukan aktivis PDIP. Selain itu, ia tetap menjalani profesi lain: paraspsikolog yang oleh pers sering juga disebut paranormal. Parapsikologi di Indonesia, menurut Permadi, bersumber pada Ketuhanan Yang Maha Esa, obyeknya adalah orang yang memiliki kekuatan di luar kewajaran. Lelaki yang suka berpakaian hitam-hitam ini biasa bersemedi dan tirakat.
Baca Juga:Ibu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa HukumSurvey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan Ketiga
Sejak SMP, anak keempat dari tujuh bersaudara itu bercita-cita jadi diplomat. Karena ingin bepergian ke luar negeri, katanya. Tapi lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, jurusan Hukum Internasional Publik (1965) ditolak lamarannya ke Departemen Luar Negeri. Sempat bekerja di Lembaga Pariwisata RI, ia kemudian dipecat gara-gara dicap ‘Soekarnois’ testing di Pertamina, ia juga ditolak direksi karena dianggap bagian dari Orde Lama.
Mas Adi, begitu ia biasa dipanggil, akhirnya menjalani hidup sebagai kondektur bus, lalu sopir taksi, hingga 1967. Berkampanye lewat Gerakan Swa Karya menggalakkan masyarakat agar memakai produksi dalam negeri, mengantarkan Permadi ke jabatan sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen, yang didirikan pada 1973. Enam tahun kemudian ia menjadi ketuanya sampai 1985.
Pada zaman Soeharto berkuasa, mantan anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) ini sangat vokal dan berani menentang Soeharto. “Saya sempat didakwa sebagai Sukarnois. Dan sebenarnya, menurut undang-undang, tidak ada larangan untuk menjadi Sukarnois. Pada 1995 saya dipenjara selama tujuh bulan,” tutur pengagum Sukarno ini. Ia juga pernah dituduh melakukan makar berkaitan dengan Peristiwa 27 Juli dan Tragedi Trisakti.