Kekuasaan machiavelis boleh lupa akan apa pun atau malah melupakan apa pun asal kekuasaan tetap lestari. Namun, paham kekuasaan Jawa, siapa pun yang berkuasa harus eling lan waspada, jangan sampai lupa bahwa kekuasaan itu ada batas. Jika tidak eling lan waspada, kekuasaan itu akan membusukkan dirinya sendiri dan menghancurkan dirinya sendiri. Karena itulah demokrasi yang dilahirkan dari ibu bernama Reformasi Mei dengan darah dan nyawa manusia janganlah dimatikan. Bangsa ini berutang pada Reformasi Mei 1998.
Ratu Adil di zaman demokrasi diharapkan untuk menata ulang negara yang sedang dilanda kekacauan tatanan. Masyarakat Jawa tidak asing lagi dengan ramalan akan kedatangan Ratu Adil. Kehadirannya pun tidak luput dari gejala-gejala dalam melihat problematika bangsa menjelang kondisi menjelang kehadiran Ratu Adil.
Secara budaya, jauh sebelum negara ini terbentuk, para pendahulu telah meramalkan atas keadaan zaman seperti ini. Bahwa akan ada zaman carut-marut, korupsi, kolusi, nepotisme, kelaliman, dan ketidakadilan. Hal itu seperti yang tertulis di dalam bait 150 Ramalan Jayabaya. Ramalan tersebut berbunyi:
Baca Juga:Survey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan KetigaPersidangan Taipan Media Hong Kong Atas Tuduhan ‘Konspirasi Publikasi Hasutan’ Makan Waktu Lama
“ukuman ratu ora adil, akeh pangkat jahat jahil, kelakuan padha ganjil, sing apik padha kepencil, akarya apik manungsa isin, luwih utama ngapusi.”
Jika dialihbasahakan ke bahasa kita: hukuman raja tidak adil, banyak yang berpangkat, jahat dan jahil, tingkah lakunya semua ganjil, yang baik terkucil, berbuat baik manusia malah malu, lebih baik menipu.
Ramalan Jayabaya di atas telah dikaji oleh Pujangga-pujangga setelahnya. Pujangga-pujangga itu mencoba menjelaskan tentang ramalan-ramalan Jayabaya. Di antaranya yang melakukan pengkajian tersebut adalah Raden Ngabehi Ranggawarsito (R. Ng. Ranggawarsito), seorang pujangga besar dan santri dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Di dalam karyanya, yaitu di dalam Serat Kalatidha, pupuh sinom, pada (bait) 7, beliau menyebutkan bahwa ada sebuah zaman yang disebut “zaman gila” (arti harfiah dari kala tidha atau zaman édan).
Petikan dari sinom yang dimaksud adalah:
“Amenangi zaman édan, éwuhaya ing pambudi, mélu ngédan nora tahan, yén tan mélu anglakoni, boya kéduman mélik, kaliren wekasanipun, ndilalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang éling klawan waspada.”