DEMOKRASI yang dilahirkan reformasi seharusnya menciptakan apa yang disebut dalam tradisi Ratu Adil sebagai kertayuda, zaman kebahagiaan di mana rakyat tak hanya sejahtera, tetapi juga bebas merdeka. Tapi, yang terjadi demokrasi, salah kedaden, demokrasi sukerta, demokrasi kesetanan, demokrasi cacat. Kita terjebak dalam zaman kalabendu, zaman kutukan, zaman petaka.
Demikian kata sambutan budayawan GP Sindhunata berbicara dengan nada getar di Bentara Budaya Jakarta, Kamis 11 Januari 2024 malam, saat peluncuran buku Ratu Adil: Ramalan Jayabaya & Sejarah Perlawanan Wong Cilik (2024) dan pameran lukisan Budi Ubrux. Buku Ratu Adil diangkat dari disertasi Sindhunata di Hochschule fur Philosophie Munchen, Jerman, 32 tahun lalu.
Namun, pertanyaannya, apakah Pilkada Serentak 2024 akan bisa melahirkan Ratu Adil yang bisa membebaskan wong cilik?
Baca Juga:Survey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan KetigaPersidangan Taipan Media Hong Kong Atas Tuduhan ‘Konspirasi Publikasi Hasutan’ Makan Waktu Lama
Pertanyaan itu hinggap di kepala saya, penantian Ratu Adil menjanjikan datangnya Kertayuda, zaman baru, di mana wong cilik yang tertindas akan menemukan pembebasan, kesejahteraan, kelimpahan, dan kebahagiaan. Ratu Adil yang bisa melunasi janji Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 bahwa di era kemerdekaan tak ada lagi kemiskinan. Namun, nyatanya, kemiskinan ekstrem masih nyata dan ada.
Boleh jadi, suasana kebangsaan saat ini mirip dengan zaman kalabendu dalam Serat Kalatidha. Kekacauan dalam tatanan terjadi. Nilai dan etika hilang dalam perbendaharaan kata warga bangsa meski bangsa ini punya Ketetapan MPR soal Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Orang berbicara etika justru ditertawakan, justru diperolok.
Kekacauan tatanan sebagai kalabendu zaman modern tampak dengan tidak satunya lisan dan perbuatan. Lembaga pengadilan konstitusi justru melanggar etika dan harus di-impeach. Namun, sang sosok bukannya menerima dengan legawa, melainkan justru melawan. Lembaga pemberantas korupsi justru ikut korupsi dan harus dipecat. Nepotisme yang menjadi musuh Orde Baru justru dipraktikkan secara terbuka dan tanpa ada rasa malu, dan malah dirasionalisasi dengan berbagai argumen. Orang yang jujur malah akan hancur tak kuat menahan serangan buzzer atau sing culiko mulyo, sing jujur kojur (yang salah mulia, yang jujur malah hancur).
Ratu Adil zaman modern dinanti untuk menormalisasi negara bangsa yang sedang dilanda kekacauan tatanan, kekacauan nilai, dan mabuk kekuasaan. Pujangga Ranggawarsita menulis, begja-begjane wong kang lali, isih begja wong kang eling lan waspada. (Sebahagia-bahagianya orang yang lupa, masih lebih bahagia mereka yang ingat dan waspada).