Jika terbukti menerima imbalan, parpol atau gabungan parpol dilarang mengajukan calon pada pilkada berikutnya di daerah tersebut.
Mengapa biaya politik mahal?
Menyoal mengapa biaya politik bisa memiliki nilai yang fantastis, faktornya berkaitan dengan citra calon tersebut.
Kajian Falguera et al (2014) dan Bryan dan Baer (2005) dalam buku Pembiayaan Pemilu di Indonesia (2018) yang dipublikasikan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), menyebutkan, beberapa alasan uang politik begitu tinggi.
Baca Juga:Survey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan KetigaPersidangan Taipan Media Hong Kong Atas Tuduhan ‘Konspirasi Publikasi Hasutan’ Makan Waktu Lama
Pertama, biaya politik yang mahal disebabkan oleh semakin berkembangnya fenomena profesionalisasi politik dan kampanye.
Kedua, karena kian rendahnya dukungan finansial dari kelompok akar rumput terhadap para politisi. Inilah yang berimplikasi ketergantungan peserta pemilu kepada donatur swasta dan negara.
Analisis Falguera & Bryan dan Baer juga senada dengan temuan KPK, bahwa faktor pemicu biaya politik tinggi, karena “keinginan kelompok bisnis dalam memberikan dukungan pembiayaan untuk kampanye kepada para calon dengan kompensasi dan harapan akan adanya keuntungan kepada kelompok- kelompok bisnis itu manakala calon-calon tersebut berhasil mendapatkan jabatan- jabatan publik.”
Dan, keempat, karena lemahnya penegakan regulasi atau aturan main, terutama oleh lembaga penyelenggara pemilu dan para pemangku kepentingan terkait.
Dalam buku yang sama, Mellaz (2018) juga meyakini bahwa personalisasi politik atau reputasi personal yang mesti dibangun oleh seorang calon legislatif saat kampanye adalah penyebab mahalnya mahar politik.
Mahar politik berujung praktik koruptif
Tingginya biaya politik itu ujung-ujungnya membuat sebagian kepala daerah atau anggota legislatif terjerat praktik koruptif.
Pemilu 2024: Pilih Pemimpin Antikorupsi demi Indonesia Maju
Ini lantaran mereka yang berhasil menjabat di kemudian hari “merasa berutang budi” dan “harus mengembalikan modal”. Kedudukan mereka sebagai pemimpin tak jarang dihadapkan pada benturan kepentingan, yang potensial berimplikasi menguntungkan diri sendiri dan relasinya. Celah yang biasa diambil atau dikorupsi yaitu melalui dana APBD atau APBN.
Baca Juga:Direktur Al Jazeera Salah Negm: Kerugian yang Kami Alami karena Penghentian Siaran Dibawa ke Jalur HukumBenda Bercahaya Kehijauan Melintasi Langit Yogyakarta, Pertanda Apa?
Di sisi lain, kecenderungan praktik itu terjadi karena rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp5 miliar satu periode (berdasarkan kajian Litbang Kemendagri). Angka ini lebih kecil dari nilai mahar politik yang harus disetor paslon oleh kepada parpol.