Pelaku biasanya mengambil foto dan video mesum korban dan mengancam untuk membagikannya kepada teman korban di media sosial, jika mereka tidak membayarkan uang atau melakukan hal-hal seksual yang pelaku minta.
Benjamin Wittes dalam laporannya “Sextortion: Cybersecurity, Teenagers, and Remote Sexual Assault” menyatakan bahwa korban sekstorsi sebagian besar adalah anak-anak di bawah umur. Dalam laporan tersebut, disebut bahwa korban sekstorsi terdiri dari 71 persen anak-anak di bawah umur 18 tahun dan 26 persen orang dewasa. Ia juga menjelaskan bahwa pelaku dapat menipu dan mendapat foto mesum korban melalui dua cara: 91 persen melalui manipulasi sosial media korban dan 43 persen melalui peretasan komputer korban (hacking).
Berdasarkan laporan The Crimes Against Children Research Center yang telah melakukan survei terhadap 1.631 korban sekstorsi berusia 18-25 tahun diketahui bahwa sebagian besar pelaku telah mengetahui identitas korban sebelumnya.
Baca Juga:Survey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan KetigaPersidangan Taipan Media Hong Kong Atas Tuduhan ‘Konspirasi Publikasi Hasutan’ Makan Waktu Lama
Pada umumnya, pelaku adalah laki-laki, mulai dari mahasiswa sampai ayah tiri korban sendiri. Menurut laporan itu, sebanyak 60 persen pelaku mengetahui identitas korban sedang 40 persen pelaku bertemu korban secara online saja.
Dengan cara apa saja sekstorsi bisa terjadi?
Laporan itu mencatat bahwa hampir seluruh aplikasi online yang dipakai korban pernah dipakai oleh pelaku sebagai media kejahatan siber ini. Sejumlah 54 persen kejahatan terjadi melalui jaringan sosial korban, 41 persen melalui aplikasi pesan, 23 persen melalui aplikasi video call, 6 persen melalui sharing situs video, 12 persen melalui email, 9 persen melalui aplikasi kencan, 4 persen melalui platform game, dan 3 persen melalui situs imageboard.
Untuk menekan terjadinya kejahatan siber seperti sekstorsi ini, orangtua perlu memperhatikan bagaimana dan di mana anak biasanya mengakses internet. Anak-anak di bawah umur yang mengakses internet di balik kamar dan menolak untuk dipantau memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi. Akan lebih baik jika anak-anak mengakses internet di ruang keluarga.
Selain itu, orangtua juga butuh menetapkan batas usia minimum untuk anak mengakses internet. Sue Scheff, penulis buku Shame Nation: The Global Epidemic of Online Hate mengatakan bahwa orangtua sudah seharusnya mempertimbangkan usia anak ketika mereka mengizinkan anak mengakses media sosial.