SIGMUND Freud mengatakan bahwa megalomania termasuk narcissistic (narsistik), mengagungkan diri sendiri secara berlebihan. Megalomania atau penyakit kepribadian narsistik merupakan salah satu penyakit mental dengan ingin memusatkan perhatian pada dirinya sendiri.
Dia merasa bahwa dirinya adalah orang yang paling dibutuhkan atau orang yang terpandang. Merasa dirinya lebih hebat dari pada orang lain dan butuh pengakuan. Orang tersebut ingin terlihat orang yang paling menonjol. Sehingga akan menimbulkan dampak-dampak yang negatif baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.
Fenomena ini menjadi frame kemunduran betapa politik kita hari ini begitu kabur. Hidup dengan glamor di atas karpet kesengsaraan rakyat.
Baca Juga:Survey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan KetigaPersidangan Taipan Media Hong Kong Atas Tuduhan ‘Konspirasi Publikasi Hasutan’ Makan Waktu Lama
Salah satu indikasi mengapa demokrasi kita berjalan lambat, karena elite politik menderita megalomania.
Saya terkejut dengan ketidaksesuaian antara apa yang pers dan publik anggap sebagai penyakit mental di antara para pemimpin dan apa yang siap didiagnosis oleh profesi medis sebagai penyakit mental.
Ketika pers dan masyarakat menggunakan istilah megalomania atau keangkuhan, untuk menggambarkan perilaku seorang Kepala Pemerintahan, dengan menggunakan istilah tersebut, kata-kata yang telah lama ditinggalkan, didefinisikan ulang, atau dibatasi secara ketat oleh profesi medis. Kegilaan bagi dokter adalah istilah yang telah digantikan sepenuhnya oleh gangguan mental tertentu.
Perilaku psikopat telah dipersempit menjadi gangguan kepribadian anti-sosial, dan megalomania menjadi delusi keagungan. Dalam kebanyakan kasus, Kepala Pemerintahan seperti ini tidak dianggap mengidap penyakit mental apa pun oleh profesi medis.
Namun ketika profesi medis mendiagnosis beberapa Kepala Pemerintahan populer menderita penyakit mental yang serius, masyarakat sulit menerima hal ini. Banyak masyarakat Inggris yang menolak label Bipolar Disorder yang diterapkan pada pahlawan mereka Winston Churchill saat menjadi Perdana Menteri. Mereka dapat menerima bahwa gambarannya tentang ‘Anjing Hitam’ miliknya adalah penyakit depresi, namun mereka kurang yakin bahwa dia pernah mengalami episode mania.
Demikian pula di Amerika, ketika sebuah makalah berjudul Mental illness in U.S. Presidents between 1776 and 1974: a review of biographical sources yang ditulis oleh tiga psikiater menyatakan bahwa Abraham Lincoln, Theodore Roosevelt, dan Lyndon Johnson mengidap Gangguan Bipolar saat menjabat sebagai Presiden, hanya sedikit yang menyangkal bahwa mereka mengidap penyakit depresi, namun muncul pertanyaan apakah ada penyakit spesifik yang dapat menyebabkan gangguan tersebut.