Dari awalnya menjajakan dagangan di tempat-tempat yang banyak dihuni para kuli bangunan, para penjual nasi itu selanjutnya membangun warung makan semi permanen di dekat lokasi proyek. Seiring berjalannya waktu, warung yang mempertemukan sesama perantau dari Tegal itu dikenal dengan warteg.
Sebagai warung yang melayani konsumen kelas bawah, tidak banyak perubahan dilakukan pemilik warteg terhadap menu masakannya. Menu seperti sayur asam, cah kangkung, sayur santan, atau lauk-pauk seperti tempe, tahu, dan telur dadar seperti sebuah template di warteg mana pun dan tahun berapa pun.
Meski begitu, daya tarik warteg yang menyediakan makanan dengan harga murah dan porsi nasi yang mengenyangkan tak pernah surut. Konsumen mereka yang semula para kuli bangunan dan sesama perantau dari Tegal pun berkembang, bukan hanya perantau dengan latar belakang pekerjaan dan asal daerah yang beragam tapi juga penduduk asli Jakarta. (*)