Berikut ada empat tipe yang ditawarkan oleh WKB. 1. Warteg Kharisma Bahari, Warteg Mamoka Bahari, Warteg Subsidi Bahari, dan Warteg Selaras Bahari.
WKB Group mengubah tampilan warteg konvensional yang terkesan kusam menjadi lebih menarik. Jika dulu warteg identik dengan warna biru, konon melambangkan Kabupaten Tegal yang merupakan daerah pesisir, kiwari warna-warna terang lebih dominan.
Lain itu, jendela dibuat berukuran besar dan pencahayaan ruangan lebih terang. Identitas warteg pun ditulis dalam ukuran besar di kaca jendela. Semua dimaksudkan untuk menciptakan kesan bahwa warteg telah naik kelas.
Bermula Sejak Orde Lama
Baca Juga:Survey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan KetigaPersidangan Taipan Media Hong Kong Atas Tuduhan ‘Konspirasi Publikasi Hasutan’ Makan Waktu Lama
Warteg memiliki sejarah yang panjang. Kemunculannya turut menandai arah baru kebijakan politik Presiden Soekarno pada warsa 1950 hingga 1960-an yang mencanangkan pembangunan besar-besaran terhadap ibu kota Jakarta. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari pemindahan ibu kota dari yang sebelumnya berada di Yogyakarta.
Seturut Rahadian Ranakamuksa Candiwidoro dalam “Menuju Masyarakat Urban: Sejarah Pendatang di Kota Jakarta Pasca Kemerdekaan (1949-1970)” (2017:6), sebagai ibu kota negara, Jakarta menjadi pusat pembangunan dalam skala yang lebih besar dibanding kota-kota lainnya di Indonesia.
Ini bisa dimengerti, sebab saat itu pembangunan infrastruktur seperti gedung-gedung pemerintahan sangat mendesak. Itu sebabnya, hampir dua pertiga dari total utang Pemerintah Indonesia pada 1956 dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur di Jakarta.
Pembangunan yang masif di Jakarta merupakan salah satu sebab terjadinya arus urbanisasi ke kota tersebut. Pada 1950, penduduk Jakarta berjumlah 1,6 juta jiwa. Satu dekade kemudian angkanya melambung menjadi 2,9 juta jiwa. Angka ini terus membengkak hingga lebih dari 4 juta jiwa pada akhir warsa 60-an.
Karena kebutuhan terhadap kuli bangunan, banyak pekerja dari berbagai wilayah di Jawa berbondong-bondong menuju Jakarta untuk melamar. Jarak Kabupaten Tegal yang hanya 4 jam perjalanan darat ke Jakarta membuat banyak warganya, terutama yang berasal dari Desa Krandon, Sidapurna, dan Sidokaton, mengadu nasib ke kota tersebut.
Banyaknya pekerja kasar yang mencari peruntungan di Jakarta menciptakan peluang bisnis tersendiri. Peka dengan peluang itu sejumlah warga Tegal yang lain menjual nasi ponggal yang murah untuk mencukupi kebutuhan makan para pekerja tersebut. Sebagian di antara penjual nasi itu tidak datang sendiri melainkan bersama anak dan istri mereka.