Raffles memahami bahwa hukum yang berlaku di desa-desa di Jawa berasal dari peradaban leluhur warganya. Namun demikian, sejatinya, untaian kata yang dikutip Marx tadi bukanlah buah pemikiran Raffles semata. Letnan Gubernur yang berkuasa di Jawa itu sekadar mengutip pernyataan dari narasumbernya atau seorang pengamat yang memberi laporan investigasi kepadanya. Boleh jadi, narasumber atau pelapor tadi memang orang Jawa.
Mungkin, inilah sumbangan kecil dari peradaban Jawa, yang meruaya ke benak Marx. Kelak, sumbangan peradaban itu diganjar dengan maraknya gerakan politik sosialisme-komunisme lewat perjuangan antarkelas di Hindia Belanda pada awal abad ke-20.
Celakanya, Raffles nyaris tidak pernah mencantumkan nama narasumber atau pelapornya. Bahkan, dalam kasus lain, ia tidak ragu untuk menyalin beberapa larik kalimat dari sebuah buku tanpa menyebutkan kutipan atau rujukan sumber. Rupanya, inilah perkara memalukan yang membuat History of Java tidak disanjung dan dipuja layaknya karya bermutu ilmiah.
Baca Juga:Persidangan Taipan Media Hong Kong Atas Tuduhan ‘Konspirasi Publikasi Hasutan’ Makan Waktu LamaDirektur Al Jazeera Salah Negm: Kerugian yang Kami Alami karena Penghentian Siaran Dibawa ke Jalur Hukum
London menjadi kota kenangan bagi Raffles dan Marx, kendati mereka tidak hidup semasa. Keduanya dimakamkan di kota yang sama, London. Raffles dimakamkan di permakaman Gereja St Mary di Hendon, sementara Marx dimakamkan di Highgate Cemetery.
Sayangnya, selama pembangunan kembali British Museum pada akhir 1990-an, ruangan baca tempat Marx merumuskan Das Kapital pun menjelma sebagai ruang pameran. Namun, ada yang lebih tragis lagi. Marx, yang mengkritik kapitalisme, tampaknya harus bersepakat dengan kapitalisme karena para pengunjung harus membayar sejumlah uang untuk sekadar menyaksikan batu nisannya.
Kembali ke persoalan penerbitan buku. History of Java dirilis dalam dua bundel pada 10 Mei 1817 di London. Buku ini berisi tentang sejarah dan budaya di Jawa, yang dilengkapi statistik semasa. Setengah abad kemudian, Das Kapital terbit di Hamburg. Ketika buku yang “mengutuk” kaum pemilik modal ini beredar di seantero Eropa, kaum pemodal Hindia Belanda tengah berlega hati karena roda-roda kereta api mulai resmi menggelinding di Jawa. (*)