Tahun ini, lebih dari separuh penduduk dunia akan menuju tempat pemungutan suara untuk memilih pemimpin nasional mereka. Beberapa proses pemungutan suara dilakukan secara demokratis, tetapi ada pula yang mungkin terlaksana secara kurang demokratis. Apa pun kondisinya, pers bebas yang bertanggung jawab harus berperan untuk memastikan proses pemilihan umum yang kredibel yang menghasilkan pemerintahan yang kredibel. Peran itu merupakan kewajiban pers terhadap masyarakat.
Secara global, pers mendapat banyak tekanan karena disrupsi besar-besaran yang disebabkan oleh internet. Kebangkitan media sosial, terutama, telah mengubah lanskap pemberitaan. Kini, kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) juga mengubah cara kerja jurnalisme. Media kawakan yang terus hanya mempraktikkan jurnalisme telah kehilangan dominasi dan pengaruh yang mereka genggam dua dekade lalu. Mereka tidak hanya kehilangan audiens akibat hadirnya pemain baru, tapi banyak juga yang terjerat masalah finansial.
Semua perubahan dalam tatanan pemberitaan menjadi alasan bagi media, dan jurnalisnya, untuk tidak melakukan kewajiban mereka seperti harapan masyarakat. Pasalnya, untuk memenuhi kewajiban itu, pers harus bekerja lebih keras agar tetap relevan dan berkontribusi terhadap berjalannya demokrasi dan pemilu yang diselenggarakan secara berkala.
Baca Juga:Persidangan Taipan Media Hong Kong Atas Tuduhan ‘Konspirasi Publikasi Hasutan’ Makan Waktu LamaDirektur Al Jazeera Salah Negm: Kerugian yang Kami Alami karena Penghentian Siaran Dibawa ke Jalur Hukum
Tidak sulit membayangkan kondisi masyarakat tanpa kebebasan pers. Lihat saja negara-negara lain, beberapa di antaranya berada satu wilayah dengan kita. Di negara-negara tersebut, pers dikontrol pemerintah dan tugas jurnalis dihalang-halangi. Mereka yang sudah cukup umur akan mengingat kekejaman terkait hak asasi manusia dan korupsi tak terkendali yang terjadi di bawah rezim Soeharto. Saat itu, pers sangat ditekan dan dikendalikan oleh pemerintah.
Omong-kosong belaka bakal tercipta keadilan bagi industri penyiaran, bila inti dari isi draf revisi itu justru bak malaikat pencabut nyawa pers. Hakikat pers, apapun jenis dan platformnya, ialah kebebasan dan kemerdekaan untuk menyuarakan kepentingan publik. Hanya di negara otoriter pers dibungkam dan diamputasi kemerdekaannya.
Padahal, kita bukan lagi negara otoriter. Negeri ini sudah bertekad bulat meninggalkan era gelap otoritarianisme menuju negara demokrasi yang lebih sesuai dengan amanat kemerdekaan Republik. Namun, kita masih menyaksikan bahwa usaha untuk membelokkan dan membalikkan arah menuju masa lampau belum sepenuhnya berhenti. Isi draf revisi UU Penyiaran amat gamblang menunjukkan hal itu.