KALAU kita melihat apa yang terjadi di Indonesia, khususnya di kota Jakarta pada bulan Mei 1998, tentunya konteks peristiwa ini tidak bisa kita lepaskan begitu saja (seolah berdiri sendiri) dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, yang menjadi seting latar pra-kondisinya. Penting bagi kita untuk melihat kurun waktu sebelumnya, bagaimana dinamika gerakan rakyat dan mahasiswa antara tahun 1996 dan tahun 1997 yang begitu dinamis dan bergolak semangat penentangan-nya terhadap rezim Soeharto kala itu, serta bagaimana konteks narasi-narasi alur sejarah itu berlangsung.
Tentunya hal seperti ini masih sangat jarang dilihat oleh banyak kalangan pembaca di Indonesia, utamanya generasi muda yang mungkin tidak mengalami dan bersentuhan secara langsung dengan peristiwa Mei ’98 itu.
Setelah peristiwa berdarah 27 Juli 1996 (penyerbuan kantor PDI), perlawanan Rakyat dan Mahasiswa terhadap Rezim Soeharto berikut pilar-pilar yang menyangga kekuasaannya semakin berkobar. Situasi Pasca 27 Juli, gerakan rakyat mengalami masa-masa mencekam, dimana terjadi ‘Crack down’ (pemukulan keras) terhadap PRD (Partai Rakyat Demokratik) dan ormas-ormas sektoralnya, seperti SMID (Mahasiswa), STN (Tani), PPBI (Buruh), Jaker (Seniman), dan SRI (Miskin Kota). Selain PRD, organisasi-organisasi pro-demokrasi lainya juga mengalami tekanan dan intimidasi seperti Pijar, KIPP, Aldera, PUDI, SBSI, YLBHI, dan basis-basis PDI Mega, juga turut dibungkam.
Baca Juga:Persidangan Taipan Media Hong Kong Atas Tuduhan ‘Konspirasi Publikasi Hasutan’ Makan Waktu LamaDirektur Al Jazeera Salah Negm: Kerugian yang Kami Alami karena Penghentian Siaran Dibawa ke Jalur Hukum
Represi keras Orba saat itu, berupa penangkapan-penangkapan aktivis pro-demokrasi, pemenjaraan, penculikan, disertai dengan penggerebekan sekretariat-sekretariat gerakan, penggerebekan kampus-kampus, pabrik-pabrik oleh intelijen dan tentara, juga penggerebekan rumah-rumah dan kantor-kantor yang dicurigai sebagai tempat berkumpul dan bersembunyi-nya para aktifis pergerakan kala itu.
Memasuki era tahun 1997, gerakan Rakyat dan Mahasiswa mulai menggeliat kembali secara perlahan-lahan. Berbagai bentuk aktivitas konsolidasi, diskusi-diskusi, dan rapat-rapat tertutup mulai dilakukan oleh para aktivis pergerakan yang tersisa dan berserakan, dalam situasi ketakutan, ancaman dan kocar-kacir pasca pemukulan secara fisik di beberapa kota, termasuk di Jakarta. Sepanjang tahun 1997, bentuk-bentuk perjuangan tertutup (bawah tanah) mulai dilancarkan, seperti ‘Graffiti Action’ di dinding-dinding strategis kota, pembangunan kembali komite-komite aksi, distribusi selebaran ke kampus-kampus, juga ke kantong-kantong pemukiman massa perkotaan, kawasan-kawasan industri, perkampungan buruh, bis-bis, halte, telepon umum, dan fasilitas publik lainnya.