Ia menilai kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai persoalan publik bukan domestik (privat) karena jika korban tidak mengadukan perkaranya tidak bisa diajukan ke pengadilan. Selain itu, masih kuatnya anggapan jika pelanggaran atau kekerasan terjadi pada kaum perempuan dianggap sebagai kesalahan perempuan sendiri.
“Seringkali perempuan dianggap bukan bagian dari persoalan HAM karena masuk wilayah domestik,” kata dia.
Heru menjelaskan menjelaskan perempuan bagian dari kelompok rentan terhadap pelanggaran HAM. Perempuan adalah korban terbesar pelanggaran HAM, seperti pemerkosaan, perdagangan orang, prostitusi, dan masih banyak hal terjadi diskriminasi terhadap perempuan.
Baca Juga:Persidangan Taipan Media Hong Kong Atas Tuduhan ‘Konspirasi Publikasi Hasutan’ Makan Waktu LamaDirektur Al Jazeera Salah Negm: Kerugian yang Kami Alami karena Penghentian Siaran Dibawa ke Jalur Hukum
“Isu kekerasan terhadap perempuan bukan hanya kasusnya yang terus meningkat, namun juga eksplanasi perbuatan pelaku yang dilakukan pada korban semakin tidak manusiawi dan merendahkan perempuan. Tindakan kekerasan terhadap perempuan pun semakin beragam dan bahkan kerap dilakukan secara berkelompok,” ungkapnya.
Belakangan ini kasus-kasus pembunuhan sadis bahkan mutilasi pada perempuan yang disertai kekerasan fisik dan seksual perlu ditangani dengan serius. Heru menyebut perempuan masih rentan dalam kasus-kasus kekerasan yang acap kali berujung pembunuhan.
Hal tersebut juga berakar pada pemahaman masyarakat baik tingkat makro hingga mikro yang masih lemah dalam meminimalisasi kerentanan itu. Heru mencontohkan, dalam masalah domestik, masyarakat cenderung tidak mau ikut campur padahal ada ketidakwajaran.
“Karena kita menyadari kerentanan perempuan, kita mesti melihat hal-hal yang domestik itu (saat) ada hal-hal yang tidak wajar mesti ada perhatian di situ. Karena dia kan tidak tiba-tiba, kerentanan itu kan ada tahap-tahapnya. Tingkat kerentanan yang minim sampai yang parah,” ujarnya.
Menurut Heru, butuh pemahaman masyarakat baik pada tingkat keluarga, komunitas, agar turut memperhatikan lingkungan sekitar.
“Karena di bawah perlindungan suami/kekasih, mereka menyerahkan kepada orang yang melindungi itu untuk memenuhi haknya. Padahal itu cuma tampilan fisiknya. Padahal di belakangnya terjadi sebaliknya. Itu yang menurut saya perlu dimasukkan pada konsep kerentanan (perempuan) tadi,” ujarnya.
“Harus ada upaya tidak hanya oleh keluarga tapi juga masyarakat harus peduli, kemudian menanyakan, ini ada apa? Jadi tidak dibiarkan, setelah ada (kasus pembunuhan) di koper, almari baru bereaksi. Reaksinya harus dari awal, reaksi terhadap kerentanan itu,” imbuhnya.