KEKERASAN seksual adalah hal memilukan dalam situasi kemanusiaan. Hal ini mungkin menjadi lebih akut setelah terjadi pada setiap tahap konflik. Korbannya biasanya adalah perempuan, yang kerentanannya semakin parah ketika krisis terjadi. Terpisah dari keluarga dan komunitas, atau menjalankan peran tertentu, dapat menempatkan mereka pada risiko eksploitasi dan pelecehan yang lebih besar.
Demikian hal ini disampaikan pengamat sosial dan politik Heru Subagia, Sabtu (11/5). Menurutnya, pelanggaran hukum menyebabkan para pelaku sering melakukan kekerasan tanpa mendapat hukuman. Dan dalam banyak konflik, tubuh perempuan menjadi medan pertempuran, dan pemerkosaan digunakan sebagai taktik untuk mempermalukan, mendominasi, atau mengganggu ikatan sosial. Kekerasan seksual yang meluas mewabah di banyak situasi dan dapat melanggengkan siklus kecemasan dan ketakutan yang menghambat pemulihan.
“Istilah saya, ini begal kemanusiaan, tubuh perempuan menjadi sasaran target para pelaku ‘banci’ yang kerap berujung kematian. Kekerasan terhadap perempuan (violence against women) adalah kejahatan yang secara sistematis telah menimpa perempuan dalam waktu yang sangat lama. Namun, sedikit sekali dipermasalahkan, dicatat, dan dilaporkan. Bahkan, dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan biasa sehingga terus-menerus tersosialisasi dari generasi ke generasi,” ungkapnya.
Baca Juga:Persidangan Taipan Media Hong Kong Atas Tuduhan ‘Konspirasi Publikasi Hasutan’ Makan Waktu LamaDirektur Al Jazeera Salah Negm: Kerugian yang Kami Alami karena Penghentian Siaran Dibawa ke Jalur Hukum
Lebih lanjut, Heru memaparkan kekerasan terhadap perempuan terjadi di berbagai komunitas, etnik, bangsa, agama, dan kelas sosial. Kekerasan terhadap perempuan bukanlah sesuatu yang turun dari langit, melainkan produk sosial dan budaya atau produk peradaban yang mendapat legitimasi dari berbagai aspek kehidupan sehingga terus lestari. Beberapa faktor diidentifikasi sebagai bagian yang tidak bisa dilepaskan dari penyebab kekerasan terhadap perempuan.
“Banyak yang beranggapan kekerasan terhadap perempuan bukan pelanggaran HAM. Padahal, kekerasan terhadap perempuan selain pidana, juga bentuk pelanggaran HAM yang berbasis gender yang mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan secara fisik, seksual, psikologis, termasuk ancaman, paksaan, pembunuhan dan pembatasan kebebasan baik yang terjadi di area publik maupun domestik,” bebernya.
Heru menekankan alasan kekerasan terhadap perempuan masih terus terjadi dan berkembang dikarenakan tidak dianggap sebagai masalah pelanggaran HAM atau kemanusiaan.