Ketiga, koalisi gemuk bisa menjadi jebakan otoritarian. Dalam hal ini, presiden tidak hanya menjadi episentrum kekuasaan eksekutif, tetapi juga menjelma sebagai pengendali kekuatan partai-partai politik yang ada di parlemen. Kecenderungan ini menyebabkan pemerintahan menjadi sangat mudah terperangkap pada rezim otoritarian.
Selain itu, Dikutip dari Koran Tempo edisi 26 Maret 2024, pengajar politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, mengatakan ketiadaan partai politik oposisi akibat cabinet gemuk berakibat buruk terhadap demokrasi.
Menurut Adi, demokrasi akan berjalan baik ketika kekuatan politik antara eksekutif dan legislatif berimbang. Kekuatan oposisi atau partai politik di luar pemerintahan dibutuhkan untuk mengawasi presiden dalam menjalankan pemerintahan.
Baca Juga:Direktur Al Jazeera Salah Negm: Kerugian yang Kami Alami karena Penghentian Siaran Dibawa ke Jalur HukumBenda Bercahaya Kehijauan Melintasi Langit Yogyakarta, Pertanda Apa?
“Fungsi pengawasan kubu yang kalah terhadap pihak yang menang dan dalam menjalankan kekuasaan tidak boleh ditiadakan,” katanya.
Dikutip dari Koran Tempo edisi 25 Maret 2024, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin juga berpendapat kabinet gemuk sangat berbahaya ketika eksekutif hanya mengutamakan kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Eksekutif akan cenderung menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan karena pengawasan DPR melemah.
“Checks and balances tidak akan ada. Lalu oposisinya akan bergeser kepada masyarakat sipil dan akademikus,” kata dia. “Kekuasaan yang kuat, maka penyalahgunaannya juga akan banyak.”
Sementara, pengamat politik UGM Heru Subagia mengungkapkan Prabowo membangun kabinet keroyokan dan ngeri-ngeri sedap. Totalitas untuk melakukan hal yang berbeda itu butuh sensasi khusus dan juga perbuatan serta tindakan yang serius. Bukan hanya akan berdampak pada dirinya tetapi perubahan yang diharapkan menjadi keyakinan baru.
Menurut Heru, dalam perkembangan demokrasi Indonesia, Pemilu 2024 diyakini sebagai pelaksanaan demokrasi terbesar namun dikatakan sebagai tonggak kematian demokrasi secara dramatis. Pemilu 2024 dengan banyak teatrikal politik yang merusak dan membakar marwah, subtansi sekaligus memutuskan cita-cita luhur para pendiri bangsa.
“Output politik hanya sekedar memberikan legitimasi searah bagi langgengnya feodalisme yang berkerja sama dengan rejim sedang berkuasa. Produk politik yang nihil akan moralitas dan integritas dengan penyertaan politik transaksional yang brutal dan mengenaskan,” unggahnya.
Agenda Pemilu 2024, kata Heru, salah satunya memilih Capres dan Cawapres. Pilpres sudah berakhir dengan segala kompleksitas permasalahan yang berjenjang. Pilpres dianggap berakhirnya politik transaksional baik yang dilakukan oleh elite partai, partai politik dan juga pihak-pihak yang sudah melakukan pertaruhan modal besar. Pemilu sekedar menghasilkan isu kekuasaan dan distribusinya.