KEMENTERIAN Pertahanan (Kemenhan) menegaskan pemerintah Republik Indonesia (RI) meminta penyesuaian pembayaran (payment adjustment) kepada Pemerintah Korea Selatan (Korsel) atas kerja sama pembuatan jet tempur KF-21 Boramae oleh Korea Aerospace Industry (KAI).
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Sekretariat Jenderal Kemenhan, Brigadir Jenderal Edwin Adrian Sumantha menjelaskan, penyesuaian pembayaran itu disesuaikan dengan manfaat yang sejauh ini diterima Indonesia dalam proyek pembuatan pesawat tempur bersama itu.
“Istilah yang tepat atas langkah yang diambil Pemerintah Indonesia terkait pembiayaan proyek pesawat tempur KF-21 adalah penyesuaian pembayaran bukan pemotongan pembayaran. Penyesuaian ini sejalan dengan kemajuan kerja sama yang telah dan masih akan dilaksanakan bersama Korea Selatan,” katanya di Jakarta, Selasa (7/5/2024).
Baca Juga:Benda Bercahaya Kehijauan Melintasi Langit Yogyakarta, Pertanda Apa?Indra Pratama Ungkap CCTV Tidak Ada yang Mati, Total 20 Aktif di TKP Bunuh Diri Brigadir RAT
Edwin menyampaikan hal itu juga untuk meluruskan pemberitaan dari kantor berita Korsel, Yonhap pada Senin (6/5/2024), yang menyebut Indonesia meminta pemotongan biaya kontribusi untuk kerja sama pembuatan jet tempur KF-21 Boramae.
Yonhap saat itu merujuk pada pernyataan DAPA, lembaga di Korsel yang mengurusi kerja sama dan pengadaan alutsista, yang mengakui adanya negosiasi soal pembayaran KF-21 Boramae. Juru Bicara DAPA Choi Kyung-ho, menyebut DAPA dan lembaga terkait lainnya masih meninjau usulan Indonesia itu.
Yonhap dalam beritanya terkait itu menyebut Indonesia mengajukan penyesuaian pembayaran sebanyak 600 miliar won untuk keseluruhan proyek pembuatan KF-21. Dalam komitmen terdahulu, Indonesia sepakat menggelontorkan 1,7 triliun won atau 20 persen dari keseluruhan nilai proyek sebesar 8,1 triliun won.
Edwin menegaskan, penyesuaian pembayaran yang diminta Indonesia ke Korsel merupakan langkah rasional. Hal itu karena Indonesia tak sepenuhnya mendapatkan kegiatan transfer teknologi dalam pembuatan jet tempur KF-21 Boramae.
“Terdapat beberapa kegiatan dalam program yang tidak dapat diikuti oleh teknisi Indonesia. Alhasil, pembayaran yang dilakukan pemerintah Indonesia disesuaikan dengan manfaat yang diperoleh dari kerja sama ini,” kata Edwin.
“Adalah wajar dan sesuai dengan prinsip akuntabilitas bahwa untuk program atau kegiatan yang tidak diikuti teknisi Indonesia, pihak Indonesia tidak perlu menanggung biaya, yang pada gilirannya mengurangi jumlah pembayaran yang telah direncanakan,” ucap Edwin menambahkan.