PUBLIK pasti banyak yang mengenalnya, karena dia merupakan seorang tokoh yang terkenal dan banyak berjasa terhadap kemerdekaan dan kemajuan bangsa. Ki Hajar Dewantara yang juga dikenal dengan sebutan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, lahir pada tanggal 2 Mei 1889 dari pasangan Gusti Pangeran Arya Soerjaningrat dengan Raden Ayu Sandiah yang merupakan cucu dari Pakualam III dari keluarga bangsawan Keraton Yogyakarta.
Pada masa pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia dia merupakan seorang aktivis dan menjadi pelopor pendidikan untuk bangsa pribumi pada zaman kolonial Belanda.
Sebagai anak dari keluarga bangsawan, Soewardi kecil mempunyai kesempatan untuk mengenyam pendidikan bersama dengan anak-anak bangsa Eropa di sekolah Hindia Belanda. Awal pendidikannya, Ki Hajar Dewantara bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) atau sekolah dasar untuk anak-anak bangsa Eropa.
Baca Juga:Indra Pratama Ungkap CCTV Tidak Ada yang Mati, Total 20 Aktif di TKP Bunuh Diri Brigadir RATKasus Bunuh Diri Brigadir RAT, Ditemukan Luka di Kepala dari Pelipis Kanan dan Kiri, Dugaan Masalah Pribadi
Setelah lulus pendidikan di ELS, selanjutnya ia meneruskan pendidikannya di School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau yang dikenal dengan Sekolah Dokter Jawa, namun sayang tidak sampai tamat.
Ki Hajar Dewantara merupakan orang yang kritis dan mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap keadaan bangsa yang saat itu dibawah kekuasaan penjajahan Belanda. Zaman penjajahan telah menjadikan masyarakat hidup sengsara dan menderita.
Rakyat diharuskan melakukan kerja tanam paksa yang membuat rakyat semakin menderita. Politik etis dari penjajah Belanda merupakan politik balas budi yang memberikan sedikit harapan pada masyarakat untuk bisa hidup lebih baik.
Belanda mau membalas jasa atas kebijakan dan kekejamannya pada masyarakat pribumi yaitu dengan membangun sarana pengairan atau irigasi, pemerataan penduduk, pelayanan kesehatan, dan mendirikan sekolah-sekolah untuk mengurangi buta huruf.
Seiring berjalannya waktu, pelaksanaan politik etis yang dijalankan oleh Belanda lama-kelamaan mulai terjadi penyimpangan, yang mana pemanfaatan sarana pengairan dan irigasi yang seharusnya digunakan untuk mengairi tanah pertanian dan perkebunan milik petani, justru dimanfaatkan sendiri untuk kepentingan orang-orang Belanda dan untuk orang pribumi sangatlah dipersulit.
Pendidikan yang semula diperuntukkan bagi masyarakat umum, namun kenyataannya yang bisa mengenyam hanyalah anak orang kaya dan anak bangsawan saja. Melihat itu semua Ki Hajar Dewantara tergerak dalam hatinya, sehingga muncul niat ingin mendirikan sekolah untuk bangsa pribumi.