“Termasuk kemudian makanya kami coba kembali dalam itu melalui pencegahan melalui LHKPN nanti setelah lebaran baru diklarifikasi tapi indikasi-indikasi-nya memang tidak ditemukan,” ungkap Ali.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengatakan jaksa berinisial TI tersebut saat ini telah kembali berdinas di instansi Kejaksaan Agung (Kejagung). Alex menuturkan, pengembalian jaksa TI ke Kejagung tidak ada kaitan dengan dugaan kasus tersebut.
“Kalau dari catatan sih enggak ada kaitannya. Kan enggak menghalangi juga sekali pun yang bersangkutan sudah ditugaskan kembali di instansi asalnya. Ketika KPK akan memanggil yang bersangkutan untuk melakukan klarifikasi, kan enggak jadi persoalan juga. Hanya perlu koordinasi dengan Kejaksaan Agung,” ujar Alex.
Baca Juga:Indra Pratama Ungkap CCTV Tidak Ada yang Mati, Total 20 Aktif di TKP Bunuh Diri Brigadir RATKasus Bunuh Diri Brigadir RAT, Ditemukan Luka di Kepala dari Pelipis Kanan dan Kiri, Dugaan Masalah Pribadi
Pegiat antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menilai aksi Ghufron yang melaporkan Dewas KPK hingga menggugat ke PTUN adalah putus asa menghadapi masalah dugaan pelanggaran etik di KPK. Kurnia pun menilai, Ghufron sebaiknya menjalani persidangan daripada mencari kesalahan.
“Mestinya, sebagai aparat penegak hukum, apalagi seorang Pimpinan KPK, Ghufron berani untuk menjalani persidangan dan tidak mencari-cari kesalahan pihak lain yang sebenarnya tidak relevan,” kata Kurnia.
Lebih lanjut, ICW mendesak Dewan Pengawas tidak terpengaruh dengan segala argumentasi pembenar yang disampaikan Ghufron dan tetap melanjutkan proses persidangan. Jika terbukti, ICW mendesak Dewan Pengawas menjatuhkan sanksi berat dengan jenis hukuman berupa pengunduran diri sebagai pimpinan. Aturan tersebut pun tertuang dalam Pasal 10 ayat (3) huruf b Peraturan Dewan Pengawas Nomor 3 Tahun 2021.
Kurnia pun menekankan, perbuatan Ghufron, bila nanti terbukti, benar-benar tak bisa dipandang sebelah mata. Dia beralasan, Ghufron disinyalir telah menyalahgunakan kewenangan, bahkan memperdagangkan pengaruh, untuk membantu pihak tertentu di Kementerian Pertanian.
“Dari dugaan peristiwa ini, selain konteks menyalahgunakan kewenangan atau memperdagangkan pengaruh, Dewan Pengawas harus turut mempersoalkan tentang adanya indikasi komunikasi yang dilakukan Ghufron dengan pihak Kementerian Pertanian,” kata Kurnia.
“Permasalahannya, kapan komunikasi itu dilakukan? Apakah komunikasi keduanya terbangun saat Kementerian Pertanian sedang diselidiki oleh KPK dalam konteks perkara yang melibatkan Syahrul Yasin Limpo? Bila benar, maka saudara Ghufron diduga keras turut melanggar Pasal 36 huruf UU KPK di ranah pidana dan Pasal 4 ayat (2) huruf a Peraturan Dewan Pengawas Nomor 3 Tahun 2021 di ranah etik,” kata Kurnia.