Beranjak beberapa tahun sebelumnya, kata Sonny, pernah terjadi tsunami pada 1992 yang dipicu oleh gempa besar di Flores dan menyebabkan banyak korban jiwa. “Apakah antara bencana 1992 dan temuan di 1996 ini akibat beradunya Sesar Kendeng dan Sesar Baribis? Ini masih menjadi pertanyaan,” ujar Sonny.
Pemaparan Sonny tentang gempa di Flores 1992 itu, disampaikannya untuk melihat rekam jejak kejadian bencana di masa lampau yang berguna bagi penelitian di masa kini. “Inilah yang menunjukkan Sesar Baribis itu aktif atau tidaknya. Data geodesi dan seismologi mencatat bahwa sesar ini aktif, tapi banyak yang belum bisa memprediksi dengan pasti di mana letak patahannya itu,” kata Sonny.
Secara administratif, Baribis merupakan nama desa di Majalengka, berada di perbukitan. Ahli geologi pernah memetakan bahwa wilayah ini terdiri dari lipatan dan patahan yang berasosiasi. “Seperti kita melipat kertas, di bagian bawah lipatan itu patah. Ini yang disebut patahan Baribis,” ujar Sonny menggambarkan.
Baca Juga:Anggota Satlantas Polresta Manado Ditemukan Tewas dengan Luka Tembak Bagian KepalaAnalisa Pengamat Transportasi: Kecelakaan Tol Japek KM58 Belum Tentu Penerapan Contraflow
Jejak-jejak dari Sesar Baribis memang tampak membentang di sepanjang Pulau Jawa. Bahkan sesar aktif ini disebut yang paling panjang untuk wilayah Jawa. Namun mengenai jalurnya banyak yang tidak bisa memprediksi dengan pasti, sebab terbatas pada literatur dan catatan sejarah. Pemetaan inilah yang bakal dilakukan Sonny bersama peneliti lainnya di ekspedisi kali ini.
Sementara itu, Direktur Yayasan Skala, Trinirmalaningrum, menyampaikan bahwa ekspedisi kali ini menggabungkan banyak peneliti dari latar belakang keilmuan yang berbeda-beda, bahkan dari latar keilmuan budaya dan sosial juga diajak.
Tujuannya, menurut Rini-sapaan akrabnya, untuk melihat sisi sosial dan budaya ihwal kebangkitan masyarakat di masa lalu setelah merasakan gempa besar akibat pergerakan Sesar Baribis. Sebab, ketika gempa terjadi, tidak hanya bidang geologi dan kebumian saja yang bekerja, tapi seluruh pihak hingga aspek sosial dan budaya.
“Kami menemukan catatan bahwa Sesar Baribis rutin menimbulkan goyangan-goyangan kecil tapi sering, dan ini berbahaya di kemudian hari. Untuk itu perlu digelar ekspedisi ini dan memetakan hasil akhir tentang Sesar Baribis yang lebih akurat,” ucap Rini. (*)