Sebagaimana dipaparkan dalam arsip Daily News, sejumlah media di Beirut kala itu menawarkan sejumlah penjelasan mengapa serangan itu terjadi. Salah satu yang mendukung teori balas dendam pribadi adalah koran Al Bayraak. Koran ini mengkalim ada sumber dari Saudi yang berkata bahwa Raja Faisal melarang Faisal bin Musaid meninggalkan negara itu karena penggunaan alkohol yang berlebihan dan konsumsi obat-obatan selama ia berada di luar negeri.
Koran Beirut lain, An-Nahar, melaporkan bahwa Raja Faisal telah mengabaikan protes terhadap kurangnya uang saku $3.500 per bulan yang diterima oleh Faisal bin Musaid, sehingga akhirnya ia nekad. Ada juga kemungkinan bahwa upaya pembunuhan itu adalah taktik untuk meruntuhkan tahta Wangsa Saud, karena Faisal bin Musaid dijadwalkan akan menikahi putri Saud (Putri Sita) di minggu yang sama.
Teori lain yang dipaparkan An-Nahar mengungkapkan bahwa pembunuhan tersebut sudah direncanakan jauh-jauh hari dan sejumlah media Arab menyatakan bahwa pembunuhan itu dilakukan atas perintah dan arahan dari Badan Intelijen Pusat AS, CIA. Di sisi lain, Raja Faisal sangat pro-kemerdekaan Palestina, dan tentu saja sepaket dengan sikap anti terhadap pendudukan ilegal Israel. Israel, sebagaimana diketahui, disokong penuh oleh AS.
Baca Juga:Analisa Pengamat Transportasi: Kecelakaan Tol Japek KM58 Belum Tentu Penerapan ContraflowKoalisi Masyarakat Sipil Adukan Presiden Jokowi ke Ombudsman Terkait Dugaan Maladministrasi Pilpres 2024
Usai PBB mengeluarkan resolusi pemecahan wilayah Palestina untuk pendirian Israel, Faisal kala itu mendesak ayahnya, Raja Abdulaziz, untuk memutus hubungan dengan AS. Namun, ayahnya tak merealisasikan keinginan itu sebab Arab Saudi sedang berhubungan dagang dengan AS. Sebelum Raja Faisal naik tahta, kekuasaan berada di saudara laki-lakinya Raja Saud bin Abdulaziz Al Saud. Saud adalah raja yang penuh skandal, salah satunya skandal keuangan yang merugikan baik negara maupun kerajaan.
Setelah Saud digulingkan karena tak kompeten, Faisal yang menggantikannya mulai 2 November 1964 segera tancap gas untuk membuat kebijakan-kebijakan luar negeri yang pro-Palestina. Ia menyerukan agresi militer melawan Israel untuk membela Al-Quds (Yerussalem) dan menghentikan pemekaran wilayah Israel. Semangat ini disambut baik oleh Mesir dan Suriah. Ketiganya kemudian membentuk koalisi militer melawan Israel yang disokong AS.
Koalisi ini pada awalnya berada di atas angin. Pasukan ketiga negara mampu menguasai arena pertempuran apalagi setelah sukses memukul mundur pasukan Israel dari Syam. Namun, semuanya berubah saat mereka berencana mamasuki wilayah Israel. AS tiba-tiba mengumumkan ancaman penyerbuan ke Mesir jika serangan itu benar-benar diwujudkan. Mesir takut, dan sang Presiden Gamal Abdul Naser terpaksa menarik pasukannya.