Menolak Gugatan Arkaan Wahyu Re dan Melisa
Arkaan Wahyu yang merupakan mahasiswa UNS mengajukan permohonan yang terdaftar dengan nomor 91/PUU-XXI/2023. Ia pun meminta agar batas usia capres dan cawapres diturunkan menjadi 21 tahun.
Sementara dalam permohonan perkara nomor 92/PUU-XXI/2023, Melisa Mylitiachristi Tarandung meminta agar batas usia capres dan cawapres diubah menjadi 25 tahun.
MK akhirnya memutuskan untuk menolak kedua permohonan tersebut karena MK telah menerima sebagian permohonan untuk perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
Mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan Almas Tsaqibbirru Re A
Baca Juga:Analisa Pengamat Transportasi: Kecelakaan Tol Japek KM58 Belum Tentu Penerapan ContraflowKoalisi Masyarakat Sipil Adukan Presiden Jokowi ke Ombudsman Terkait Dugaan Maladministrasi Pilpres 2024
WNI atas nama Almas mengajukan permohonan yang terdaftar dengan nomor 90/PUU-XXI/2023 dan meminta agar batas usia capres dan cawapres diubah menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.
Menurut Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman, sebagian permohonan yang diajukan oleh Almas beralasan menurut hukum. Permohonan itu pun dikabulkan sebagian atas dasar syarat alternatif pernah menjabat sebagai kepala daerah yang dipilih melalui pemilu.
MK juga menyatakan bahwa “berusia paling rendah 40” dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat. sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Apa Itu Dissenting Opinion?
Sidang putusan MK tentang batas usia capres dan cawapres sempat diwarnai dissenting opinion atau pendapat berbeda oleh beberapa hakim konstitusi.
Dissenting opinion adalah pendapat berbeda dari satu atau lebih hakim yang tidak setuju dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim saat memutuskan suatu perkara. Dissenting opinion juga bisa dianggap sebagai pendapat minoritas.
Indonesia sendiri mengadopsi dissenting opinion sejak 2004 sehinggadissenting opinion memiliki landasan hukum yang kuat, salah satunya diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa jika sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, maka pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
Baca Juga:Penyembelihan Sapi Merah Doktrin Yahudi Robohkan Al Aqsa Jatuh 10 April 2024, Berbarengan dengan Lebaran?Yayasan Konsumen Muslim Indonesia Rilis Sejumlah Nama Perusahaan dengan Produk Terbukti Terafiliasi Israel, Begini Tanggapan Wasekjen MUI
Pendapat yang berbeda ini bisa berkaitan dengan beberapa hal, mulai dari fakta hukum, pertimbangan hukum, hingga amar putusan yang berbeda.