KETUA Tim Pembela Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda tiga hakim Mahkamah Konstitusi dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) atau sengketa Pilpres 2024, menjadi catatan sejarah.
“Jadi, itu semacam catatan sejarah bagi para akademisi untuk mempelajari kenapa ada dissenting opinion seperti ini dan apa alasan-alasan mereka,” kata Yusril di kediaman Prabowo, Kertanegara IV, Jakarta Selatan, Selasa (23/4/2024).
Menurut Yusril, pendapat berbeda ketiga hakim MK itu layak untuk dikritisi guna mengetahui di mana letak kelemahan dan kekuatannya.
Baca Juga:Analisa Pengamat Transportasi: Kecelakaan Tol Japek KM58 Belum Tentu Penerapan ContraflowKoalisi Masyarakat Sipil Adukan Presiden Jokowi ke Ombudsman Terkait Dugaan Maladministrasi Pilpres 2024
“Jadi, dissenting opinion ini bisa dikritisi juga oleh para akademisi di mana kekuatan dan di mana kelemahannya, seperti itu,” ucap Yusril.
Ia mengatakan kedatangannya ke rumah Prabowo malam ini untuk menyerahkan salinan asli putusan MK perihal sengketa Pilpres 2024. Nantinya, salinan itu akan didokumentasikan untuk menjadi bagian dari sejarah bangsa.
“Kami bersilaturahmi dan menyerahkan putusan itu kepada beliau (Prabowo), putusan aslinya untuk disimpan dan didokumentasikan sebagai bagian dari perjalanan sejarah bangsa kita, generasi akan datang nanti dapat membaca putusan itu dalam bentuk aslinya,” tutur Yusril.
Ketiga hakim MK yang menyampaikan dissenting opinion adalah Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih.
Dalam dissenting opinion-nya, Hakim Arief Hidayat mengatakan tak boleh ada penyelenggara negara yang ikut campur atau cawe-cawe dan memihak kepada salah satu kontestan dalam proses Pemilu 2024. Ia menilai Presiden Joko Widodo telah memihak paslon tertentu.
“Apa yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi dengan segenap struktur politik kementerian dan lembaga, dari tingkat pusat hingga level daerah, telah bertindak partisan dan memihak calon pasangan tertentu,” sebutnya saat membacakan dissenting opinion.
Menurut Arief, tindakan Jokowi mencederai sistem keadilan pemilihan umum. Sebab, penyelenggaraan pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Baca Juga:Penyembelihan Sapi Merah Doktrin Yahudi Robohkan Al Aqsa Jatuh 10 April 2024, Berbarengan dengan Lebaran?Yayasan Konsumen Muslim Indonesia Rilis Sejumlah Nama Perusahaan dengan Produk Terbukti Terafiliasi Israel, Begini Tanggapan Wasekjen MUI
Sementara itu, Enny menilai dalil pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sebab, menurutnya, memang ada ketidaknetralan pejabat negara saat Pilpres 2024.
Karena itu, Enny menilai seharusnya diadakan pemungutan suara ulang. Hal ini dilakukan untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil.