“Soesalit itu seorang yang betul-betul dianggap menghayati Revolusi. Dari kedinasan Pamongpraja ia sudah membawa jiwa-jiwa revolusioner. Kepribadiannya membawa kewibawaan dan gaya revolusioner yang tinggi. Oleh sebab itulah ia dianggap dapat mendekatkan diri pada laskar-laskar. Ia juga terkenal sebagai orang yang sederhana. Umpamanya, bajunya selalu tertutup tinggi, seperti Mao Tze Tung,” puji Nasution seperti tertulis dalam Kartini: Sebuah Biografi.
Tapi tak pernah jelas apakah Soesalit benar-benar komunis atau bukan. Keterlibatannya dalam Peristiwa Madiun juga tak pasti, karena tak pernah melalui proses peradilan. Tapi, Soesalit ujungnya tetap diamankan para petinggi tentara akibat pecahnya Peristiwa Madiun. Ia tadinya dijadikan tahanan rumah, sampai kemudian dibebaskan Presiden Sukarno.
“Gubernur Militer Bambang Sugeng kemudian terpaksa memerintahkan tahanan rumah terhadap Jenderal Mayor Soesalit dalam Peristiwa Madiun, karena dalam sebuah dokumen PKI, ia disebutkan sebagai yang bisa diandalkan. Memang di kalangan laskar Jenderal Mayor Soesalit cukup populer. Kemudian, dengan kebijakan presiden, ia disuruh menginap di kompleks Istana (Gedung Agung Yogyakarta). Seperti diketahui, bahwa ia adalah putra tunggal Ibu Kartini,” tulis Abdul Haris Nasution dalam bukunya.
Baca Juga:Analisa Pengamat Transportasi: Kecelakaan Tol Japek KM58 Belum Tentu Penerapan ContraflowKoalisi Masyarakat Sipil Adukan Presiden Jokowi ke Ombudsman Terkait Dugaan Maladministrasi Pilpres 2024
Saat itu, nama besar ibunya-lah yang menyelamatkan Soesalit dari tahanan rumah. Tapi, keberuntungan Soesalit sebagai anak Kartini cukup sampai di situ. Karier militernya yang sudah sangat tinggi tak bisa diselamatkan.
Setelah Peristiwa Madiun, Soesalit tak lagi menjabat sebagai panglima militer di Jawa. Ia “diparkir” di Kementerian Pertahanan sebagai perwira staf Angkatan Darat saat usianya 44 tahun. Meski Soesalit non-aktif sebagai panglima, ia masih membantu gerilya di pegunungan Kedu Selatan melawan Belanda. Di sekitar tempat tinggalnya, dia memasang bom yang siap meledak saat ditekan detonatornya jika tentara Belanda datang.
Meski sudah berjuang habis-habisan untuk negara, bahkan setelah dituduh terlibat makar ia masih membela Republik, Soesalit tak langsung beroleh bintang atas kiprahnya. Menurut Sitisoemandari, Soesalit memang tak menginginkan penghargaan apapun. Tanda bukti sebagai veteran pun ia tak punya. Yang dimilikinya hanya surat tanda jasa POPDA (panitia yang mengurusi kepulangan tentara Jepang).