Karena itu, setelah Jepang datang ke Indonesia, Soesalit memutuskan meninggalkan dunia spionase dan bergabung dengan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Berdasar catatan singkat Harsya Bachtiar, Soesalit menjadi daidancho—komandan batalyon setara mayor atau letnan kolonel—PETA Banyumas II di Sumpiuh pada 1943-1945.
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Soesalit dan bekas bawahannya di PETA pun bergabung ke Republik Indonesia. Soesalit, dengan bekal militernya, masuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang lalu berubah jadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Karena tentara Indonesia saat itu kebanyakan tak terlatih sebagai militer profesional, Soesalit melatih milisi-milisi rakyat, termasuk sebuah laskar kampung di Tegal.
Menurut Sitisoemandari Soeroto, ketika menjadi Komandan Resimen di Tegal, Soesalit pernah ditugasi melucuti senjata tentara Jepang. Istimewanya, tugas itu bisa diselesaikan tanpa pertumpahan darah. Rupanya, komandan pasukan Jepang Kido Butai di sana adalah kenalan baiknya.
Baca Juga:Analisa Pengamat Transportasi: Kecelakaan Tol Japek KM58 Belum Tentu Penerapan ContraflowKoalisi Masyarakat Sipil Adukan Presiden Jokowi ke Ombudsman Terkait Dugaan Maladministrasi Pilpres 2024
Meski bukan ahli siasat yang menguasai berbagai macam teori perang, Soesalit tetaplah tentara pejuang. Ia memang tak belajar ilmu perang layaknya lulusan akademi militer, tapi Soesalit adalah salah satu perwira yang menyusun strategi dalam perang-perang kemerdekaan. Setelah Agresi Militer Belanda Pertama, misalnya, Soesalit ikut mengorganisir serangan balik terhadap Belanda. Tentara Belanda diserang secara terus-menerus untuk menguras tenaga mereka.
Teknisnya, Soesalit mengirimkan beberapa orang komandan resimennya, di antaranya Letkol Sarbini dengan Letkol Soeharto, sebagai peninjau untuk menyertai pasukan. Ia menyasar kompi-kompi Belanda yang berada di kampung-kampung dan gudang-gudang perkebunan sebagai pos terdepan sekitar Ambarawa, Salatiga dan Tuntang.
“Malam demi malam pos-pos ini diganggu dengan tembakan mortir dan senapan mesin dari TNI […] Seminggu [Pasukan Belanda] tak bisa memejamkan mata, dan praktis sudah kehabisan tenaga karena kelelahan,” tulis sejarawan Belanda Pierre Heijbor dalam Agresi Militer Belanda: Memperebutkan Pending Zamrud Sepanjang Khatulistiwa 1945-1949 (1995).
Soesalit dianggap orang kuat di militer Republik. Meski Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo dan Jenderal Soedirman tak setuju, Amir Sjarifoedin pernah berkeras menjadikan Soesalit sebagai Panglima Divisi III Diponegoro, Oktober 1946-Maret 1948. Wilayahnya meliputi daerah operasi sekitar Kedu dan sekitarnya. Ketika itu, Yogyakarta sudah menjadi ibu kota Republik Indonesia, sehingga posisi Soesalit merupakan salah satu yang terpenting.