RADEN Mas Soesalit Djojoadhiningrat lahir di Rembang pada 13 September 1904. Ia dinamai Soesalit. Ayahnya adalah Bupati Rembang Raden Mas Adipati Ario Djojoadiningrat. Sedangkan ibunya adalah perempuan Hindia yang membuat takjub orang-orang di Belanda karena surat-suratnya tentang perempuan dianggap mendahului zamannya. Malang, saat sang bayi baru berumur empat hari, ibunya, Raden Ayu Kartini yang legendaris itu, meninggal dunia.
Sepeninggal ibunya, Soesalit sempat diasuh neneknya, Ngasirah atau Nyonya Mangunwikromo, sebelum kembali diasuh sang ayah lagi. Saat Soesalit berumur delapan, kemalangan datang lagi: ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian diurus kakak tiri tertuanya, Abdulkarnen Djojoadiningrat, yang kelak menggantikan sang ayah menjadi Bupati Rembang.
Meski tidak terlahir dari rahim yang sama, Abdulkarnen peduli atas kehidupan Soesalit muda. Tak hanya pendidikan, pekerjaan Soesalit pun diatur kakak tirinya. Putra Kartini ini sekolah di Europe Lager School (ELS), seperti ibunya dulu sebelum dipingit. ELS adalah sekolah elite untuk anak Eropa dan pembesar pribumi.
Baca Juga:Analisa Pengamat Transportasi: Kecelakaan Tol Japek KM58 Belum Tentu Penerapan ContraflowKoalisi Masyarakat Sipil Adukan Presiden Jokowi ke Ombudsman Terkait Dugaan Maladministrasi Pilpres 2024
Menurut Sitisoemandari Soeroto dalam Kartini: Sebuah Biografi (1979), Soesalit lulus dari ELS Rembang tahun 1919. Setelah itu, Soesalit masuk Hogare Burger School (HBS) Semarang. Ia lulus dari HBS pada 1925.
Tamat HBS, Soesalit sempat belajar di sekolah tinggi hukum kolonial, Rechthoogeschool (RHS) Batavia. Setahun belajar di sana, ia meninggalkan bangku RHS. Soesalit diterima sebagai pegawai pamong praja kolonial yang diperbantukan kepada kontrolir di Rembang.
Baru beberapa tahun bekerja, kakak tiri Soesalit kembali menawarinya pekerjaan. Padahal, Soesalit nyaris jadi asisten wedana di sana. Jabatan itu cukup bagus untuk karier seorang calon bupati, apalagi kakek dan ayahnya adalah bupati Rembang.
Ternyata, Abdulkarnaen memasukkan Soesalit ke Politieke Inlichtingen Dienst (PID), dinas polisi rahasia Hindia Belanda. Tugas PID adalah mematai-matai kaum pergerakan nasional dan mengantisipasi spionase asing, termasuk Jepang yang masuk Hindia sejak 1916.
Menurut Sitisoemandari, Soesalit merasa tertekan dengan pekerjaan yang dijalaninya. Masa-masa berdinas di PID dianggapnya sebagai masa suram. Soalnya jelas: Soesalit tak mampu memata-matai dan menangkapi bangsanya sendiri.
“Soesalit sedapat-dapatnya selalu berusaha melindungi para pejuang kita dan seringkali ‘tutup mata’ terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh mereka,” tulis Sitisoemandari.