“Pada prinsipnya pengaturan distribusi hak yang dilakukan secara berbeda dapat dibenarkan, sepanjang hal itu tidak menimbulkan kerugian. Demikian itu dapat dikatakan adil. Dalam kaitannya dengan norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang di dalamnya tidak ada pengecualian tentu telah menimbulkan ketimpangan distribusi hak. Pembatasan usia tanpa adanya pengecualian sebagaimana yang dimaksudkan, tidak mencerminkan kondisi yang adil dan benar,” kata Abdul.
“Kebenaran dan keadilan merupakan dwitunggal, satu terhadap yang lain saling memberikan legitimasi. Kebenaran dan keadilan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Perbuatan yang adil adalah suatu tindakan yang berdasar pada kebenaran. Penerapan hukum dikatakan tidak adil, jika suatu norma diadakan pada pada suatu undang-undang, namun tidak diterapkan pada undang-undang lain yang memiliki persamaan,” imbuhnya.
Abdul menambahkan, tercapainya keadilan yakni dibukanya peluang agar posisi atau jabatan secara proporsional berlaku untuk semua orang. Dengan demikian, lanjut dia, prinsip ‘perlakuan sama di hadapan hukum’ hingga ‘kesempatan yang sama dalam pemerintahan’ terpenuhi.
Baca Juga:Analisa Pengamat Transportasi: Kecelakaan Tol Japek KM58 Belum Tentu Penerapan ContraflowKoalisi Masyarakat Sipil Adukan Presiden Jokowi ke Ombudsman Terkait Dugaan Maladministrasi Pilpres 2024
Atas hal itu, Abdul meyakini MK tidak akan mengabulkan permohonan dengan tuntutan pendiskualifikasian karena ada dugaan pelanggaran administrasi pemilu secara TSM. Menurutnya, permohonan penggugat justru melanggar kompetensi absolut.
“Bukan pada tempatnya Mahkamah Konstitusi mengadili perkara tersebut. Seharusnya ditujukan pada Bawaslu. Ketika memang ada potensi yang dapat mengubah hasil perolehan suara nasional sebagaimana ditetapkan oleh KPU dan itu terkait dengan dugaan Pelanggaran Administrasi Pemilu secara TSM, maka seharusnya diajukan ke Bawaslu tanpa harus menunggu terlebih dahulu penetapan KPU tersebut. Mengapa hal itu tidak dilakukan dan mengapa harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi?” tutur Abdul.
Dia juga menilai permohonan diskualifikasi tanpa paslon 02 mengandung inkonsistensi. Menurut Abdul, tuntutan pembatalan dan pemungutan suara ulang merupakan hal berbeda dan bereda forum penyelesaiannya.
“Mencampuradukkan keduanya dengan melanggar kompetensi yang berujung ‘salah kamar’ adalah suatu pemaksaan untuk tidak menyebut ‘kesesatan’” katanya.
Abdul menganggap diabaikannya Bawaslu memperlihatkan kedua pemohon salah niat. Menurutnya, tidak dibenarkan menanggalkan hukum formil dengan alasan menegakkan hukum materiil.