PAKAR Hukum Tata Negara sekaligus Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia, Abdul Chair Ramadhan, menilai Mahkamah Konstitusi (MK) tidak akan mengabulkan gugatan sengketa Pilpres 2024 dari kubu 01 maupun 03.
Begini analisisnya.
Abdul mengatakan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi dasar hukum bagi pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto sebagai capres Pemilu tahun 2024. MK menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mempersyaratkan usia minimal 40 (empat puluh) tahun bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’.
“Putusan tersebut bersifat final and binding. Keberadaannya berlaku bagi semua orang (erga omnes). Putusan juga langsung dapat dilaksanakan (selfexecuting) dan oleh karenanya tidak memerlukan atau menunggu revisi terhadap undang-undang. Secara mutatis mutandis berlaku bagi regulasi di bawah undang-undang (in casu Pasal 13 ayat (1) huruf q PKPU 19/2023)” ujar Abdul, dalam keterangannya, Minggu (21/4/2024).
Baca Juga:Analisa Pengamat Transportasi: Kecelakaan Tol Japek KM58 Belum Tentu Penerapan ContraflowKoalisi Masyarakat Sipil Adukan Presiden Jokowi ke Ombudsman Terkait Dugaan Maladministrasi Pilpres 2024
Dia menyayangkan perihal batas usia kembali disoal pasca-penetapan perolehan suara Prabowo-Gibran oleh KPU. Apalagi, dalam salah satu gugatan sengketa Pilpres disinggung soal penetapan Girban oleh KPU tidak memenuhi syarat.
“Padahal, sebelumnya kedua kontestan sama sekali tidak mempersoalkan penetapan Gibran tersebut. Mengapa setelah penetapan perolehan suara secara nasional oleh KPU baru dipermasalahkan? Apakah ini dapat dikatakan sebagai niat yang berlaku surut?” kata Abdul.
Abdul kemudian menyinggung soal persyaratan capres cawapres dalam Undang-Undang sebelumnya di mana syaratnya yakni sekurang-kurangnya 35 tahun. Lalu dalam norma putusan menyatakan ‘pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’. Dia menilai hal itu sebagai bentuk ‘pengecualian’.
“Kita ketahui dalam hukum lazim diadakan suatu pengecualian. Terdapat adagium yang demikian masyhur, ‘tidak ada hukum tanpa pengecualian” (no law without escape clause)” terangnya.
Abdul mengatakan adanya aturan pengecualian dalam putusan MK itu untuk memenuhi keadilan warga negara yang akan dicalonkan sebagai presiden atau wapres.