PERSELISIHAN antara Iran dan Israel dimulai sejak 1979, tepatnya ketika Shah Mohammad Reza Pahlavi dilengserkan oleh kalangan komunis dan ulama Syiah. Republik Islam Iran hanya punya satu keinginan terhadap Israel: mengenyahkannya dari muka bumi.
Pemerintah Iran menolak mengakui kedaulatan atau eksistensi Israel, yang dilihat sebagai penjajah Palestina sekaligus perpanjangan tangan imperialis Amerika Serikat. Ulama Syiah pendiri republik sekaligus pemimpin tertingginya, Ayatollah Ruhollah Khomeini, menjuluki Israel “Setan Kecil”, sedangkan “Setan Besar”-nya AS.
Menariknya, walaupun pemerintahan baru Iran gencar menyatakan kebencian pada Israel, kedua negara masih memandang satu sama lain sebagai mitra strategis di bidang keamanan, terutama dalam menghadapi agresi Irak dan Saddam Hussein.
Baca Juga:Analisa Pengamat Transportasi: Kecelakaan Tol Japek KM58 Belum Tentu Penerapan ContraflowKoalisi Masyarakat Sipil Adukan Presiden Jokowi ke Ombudsman Terkait Dugaan Maladministrasi Pilpres 2024
Kemitraan ini berjalan seiring dengan berlangsungnya Perang Iran-Irak (1980-1988). Konflik yang dipicu oleh perebutan teritori ini diawali oleh serangan Irak, yang pemerintahannya masih belum stabil dan angkatan bersenjata pun belum kompak di bawah rezim baru.
Israel memutuskan membantu Iran. Di mata Israel, Irak masih jadi ancaman keamanan nasional karena program-program nuklirnya. Israel bahkan melancarkan Operasi Opera sendiri, yang melibatkan delapan unit jet tempur Falcon F-16 dan enam unit Eagle F-15. Tujuannya tidak lain untuk menyerang fasilitas-fasilitas nuklir Irak.
Selain itu, dengan menyokong Iran, Israel juga berharap negara tersebut mau kembali menjalin persekutuan lama yang dibangun oleh rasa kesamaan nasib, kepentingan geopolitik, sampai kerja sama dagang—yang hancur setelah revolusi.
Think tank RAND Corporation dalam buku Israel and Iran: A Dangerous Rivalry tahun 2011 mengatakan bantuan Israel sudah datang pada tahun pertama perang. Ketika itu PM Israel Menachem Begin menyetujui pengiriman roda pesawat tempur dan senjata.
Sebagai balas budi, Ayatollah Khomeini mengizinkan sejumlah besar warga Iran keturunan Yahudi untuk pergi ke Israel atau AS.
Langkah ini sebenarnya melanggar kebijakan Washington, yang melarang pengiriman senjata untuk Iran sebelum warga AS yang disandera oleh militan Iran di Kedutaan AS di Tehran dibebaskan. Dalam hal ini elite politik Israel juga diam-diam melobi Washington—yang terang-terangan berpihak di sisi Irak—dan berhasil.