Sementara itu, penyedia jasa titip (jastip) juga menyoroti kurangnya sosialisasi terkait sistem pembatasan barang bawaan dari luar negeri. Cindy, seorang penyedia jastip dari Jakarta, mengungkapkan regulasi mengenai pembatasan barang bawaan dari luar negeri belum disosialisasikan secara menyeluruh.
“Dahulu, mungkin karena adanya permasalahan penjualan barang bekas impor dari luar negeri yang merugikan UMKM, regulasi tersebut bisa dimengerti. Namun, jika sekarang ada pembatasan yang agak tidak wajar. Sosialisasi yang belum merata membuat banyak orang bingung mengenai tujuan pembatasan ini,” ujarnya saat diwawancarai Beritasatu.com secara daring beberapa waktu lalu.
Cindy juga menyatakan pembatasan saat ini tidak sesuai dengan budaya atau kebiasaan masyarakat Indonesia yang sering membawa oleh-oleh atau kenang-kenangan dari luar negeri untuk keluarga dan teman.
Baca Juga:Yayasan Konsumen Muslim Indonesia Rilis Sejumlah Nama Perusahaan dengan Produk Terbukti Terafiliasi Israel, Begini Tanggapan Wasekjen MUIPernyataan Lengkap Princess of Wales, Kate Middleton: Bagi Siapa pun yang Menghadapi Penyakit ini, Mohon Jangan Putus Asa
“Pembatasan jumlah barang bawaan dari luar negeri akan menimbulkan ketidaknyamanan, bukan hanya bagi penyedia jastip, juga masyarakat. Kebiasaan membawa oleh-oleh merupakan bagian dari budaya kita,” jelasnya.
Selain itu, Cindy juga mengungkapkan kebingungannya terkait pajak yang dikenakan kepada masyarakat yang membawa barang dari luar negeri, terutama jika barang tersebut bukan berasal dari merek terkenal. Menurutnya, beberapa kasus masih kurang jelas, terutama ketika barang yang dibawa memiliki nilai tinggi, tetapi bukan berasal dari merek mewah.
Belum Efektif
Ekonom dari Institute For Development Of Economic And Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengungkapkan aturan pembatasan barang bawaan dari luar negeri belum mampu mengurangi masuknya produk impor ilegal, terutama produk tekstil. Menurutnya, produk impor tekstil ilegal lebih sering masuk melalui jalan tikus daripada jalur resmi, seperti barang bawaan penumpang di bandara atau pelabuhan resmi.
“Dalam pandangan saya, jumlah produk tekstil yang masuk melalui jalur resmi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan impor ilegal yang masuk melalui jalan tikus, yang sering menjadi tempat bagi pengimpor ilegal,” ungkap Tauhid Ahmad saat dihubungi oleh Beritasatu.com beberapa waktu lalu.
Tauhid menambahkan barang impor ilegal biasanya masuk melalui pelabuhan kecil atau pelabuhan tidak resmi. Barang-barang tersebut bisa berupa pakaian bekas, sepatu bekas, dan lainnya, yang sudah berlangsung selama puluhan tahun masuk ke dalam negeri melalui jalur tersebut. Bahkan, tidak jarang produk baru juga masuk melalui jalur ini.