KASUS Flu Singapura atau istilah medisnya Hand, Foot, and Mouth Disease (HFMD) belakangan meningkat di Indonesia. Menurut data Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) pada minggu ke-11 di 2024, tercatat ada lebih dari 5 ribu pasien yang terinfeksi penyakit tersebut.Kok bisa sih kasusnya meningkat, apa penyebabnya?
Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi Penyakit Tropik IDAI & Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Prof Dr dr Edi Hartoyo, SpAK membeberkan sejumlah faktor yang menjadi pemicu kasus Flu Singapura ngegas di Indonesia. Faktor pertama disebabkan karena musim peralihan.
“Jadi HFMD ini banyak terjadi di musim peralihan, antara musim hujan dan musim panas. Ini sebetulnya yang bisa menjawab kenapa pada musim peralihan, kenapa nggak musim dingin aja, ini para epidemiolog yang meneliti,” imbuhnya saat konferensi pers bersama PB IDI, Selasa (2/4/2024).
Baca Juga:Yayasan Konsumen Muslim Indonesia Rilis Sejumlah Nama Perusahaan dengan Produk Terbukti Terafiliasi Israel, Begini Tanggapan Wasekjen MUIPernyataan Lengkap Princess of Wales, Kate Middleton: Bagi Siapa pun yang Menghadapi Penyakit ini, Mohon Jangan Putus Asa
“Tapi yang jelas insidennya akan naik pada masa peralihan, kalau kita kan ada musim hujan dan panas,” lanjutnya lagi.
Faktor kedua, Prof Edi mengatakan masih banyak masyarakat Indonesia yang tak menyadari betapa menularnya Flu Singapura. Bahkan menurutnya, tak sedikit pula yang menilai Flu Singapura sebagai penyakit yang ringan, sehingga dianggap biasa saja.
Walhasil hal tersebut memicu peningkatan kasus Flu Singapura di Indonesia.
“Ini penularannya kaya COVID, droplet, kalau orang kena COVID dia langsung isolasi karena takut. Kalau anak HFMD atau Flu Singapura ini kan tetap sekolah, tetap berhubungan dengan orang lain, itu mengapa insidennya tinggi. Karena tidak seketat COVID, kalau orang COVID dia sadar diri bakal isolasi di rumah,” katanya.
“Orang Indonesia kalau kena cacar air kadang-kadang biasa sekolah aja, padahal itu nular. Tapi kalau kena COVID, tahu dia harus isolasi. Jadi kenapa insidennya tinggi karena tidak semua masyarakat kita sadar bahwa penyakit ini menular. Karena penyakit ini dinilai ringan, maka dianggap biasa aja. Oh sariawan biasa, kadang-kadang begitu meremehkan atau tidak memperhatikan,” ucapnya. (*)