Ada masa saat rampogan macan juga melambangkan pertikaian antara orang Jawa melawan Belanda. Kerbau atau banteng melambangkan orang Jawa, sementara harimau melambangkan orang Belanda. Kerbau adalah hewan yang dekat dengan petani, pekerjaan yang banyak dilakukan orang Jawa pada masa itu. Sementara harimau dianggap intrusive atau pendatang, seperti orang Belanda. Mereka datang dari luar yang hendak menguasai Jawa.
Sebenarnya pertarungan menggunakan harimau bukan monopoli tradisi Jawa. Wessing menemukan di beberapa literatur perkelahian antara harimau dengan satwa lain juga terjadi di beberapa tempat di Asia Tenggara beberapa abad lalu. Misalnya yang terjadi di Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Di Thailand dan Laos ada tradisi perkelahian antara harimau dan gajah. Juga di Vietnam dan Malaysia.
Dalam sebuah foto hitam putih yang menggambarkan tradisi rampogan macan, terlihat ada sembilan kandang harimau dan seekor harimau Jawa yang disebut macan loreng berjalan gontai di tengah alun-alun. Sementara di foto lain memperlihat seekor harimau Jawa dan enam macan tutul mati. Foto-foto tersebut bisa bercerita berapa banyak harimau yang dikorbankan dalam tradisi rampogan.
Baca Juga:KPU Bersedia Perlihatkan Isi Kontrak dengan Alibaba Cloud dan Resume dari Proses Pengadaan Layanan Tanpa Tunjukkan Informasi yang DikecualikanAmel Korban Pembunuhan Berencana di Kampung Ciseuti Sempat Berteriak Minta Ampun
Tradisi rampogan macan tidak lagi hanya dilakukan di keraton kasunanan Surakarta dan kasultanan Yogyakarta. Namun menyebar ke beberapa wilayah seperti Semarang, Kediri, Blitar. Beberapa penelitian mengkonfirmasi hal itu. Pelaksanaannya pun tak lagi dilakukan setahun sekali. Sebagai hiburan, tradisi ini tak jarang disuguhkan untuk menyambut tamu.
Namun bagaimana harimau Jawa punah, sangat mungkin terjadi karena banyak faktor. Pembukaan hutan untuk pertanian dan perkebunan secara besar-besaran pada masa kolonial Belanda merupakan salah satu penyebabnya.
Wessing dalam artikel lain berjudul The Last Tiger in East Java: Symbolic Continuity in Ecological Change, 1995, menyebut pembukaan hutan untuk perkebunan pada pertengahan abad 19 melahirkan perpindahan penduduk dan dampak ekologi. Penggunaan senjata untuk membunuh harimau dan mangsanya semakin mempercepat hilangnya harimau dari hutan Jawa yang tersisa. Laporan harimau yang memangsa ternak bahkan sampai membunuh manusia juga meningkat.
Pada 1822 pemerintah kolonial terpaksa mempekerjakan orang-orang untuk memburu harimau. Pada kurun 1940-an diperkirakan harimau Jawa tinggal 200 hingga 300 ekor. Namun beberapa dekade selanjutnya harimau Jawa seolah bersembunyi entah di mana.