“Semua bergantung MK. MK tidak boleh hanya berpatok ke angka-angka hasil pemilu, tapi juga memotret darimana angka-angka itu diperoleh. Apakah dengan cara curang atau tidak. Termasuk apakah proses dari hulu ke hilir itu taat etik serta prinsip keadilan pemilu,” kata Castro.
“MK harus progresif melihat pemilu ini tidak sebatas angka-angka di atas kertas. Tapi substansi keadilan pemilu tadi. Hal ini yang sering kita sebut sebagai judicial activism,” lanjut Castro.
Catatan untuk Hakim Mahkamah Konstitusi
Ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Herlambang P. Wiratama mengatakan bahwa permasalahan yang dipersoalkan dalam permohonan adalah masalah substantif dalam pemilu sebagaimana pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 tentang pelaksanaan pemilu bersifat luber jurdil.
Baca Juga:Pemerintah Janji Bayar Utang Rp474,8 Miliar ke Pengusaha, Kemendag Pastikan Verifikasi Pencairan DanaPerubahan Iklim Berisiko untuk Kesehatan Kerumunan Mudik
“Maka tidak ada alasan untuk tidak mungkin ya merespons apa yang dimohonkan oleh para paslon karena kecurangan itu kalau memang bisa dibuktikan secara TSM-nya itu tidak ada kata tidak mungkin, sangat memungkinkan,” kata Herlambang, Rabu.
Herlambang pun menekankan, persoalan penerapan pasal 22 E tidak hanya berdampak pada timses, melainkan bisa kepada presiden maupun penyelenggara pemilu. Dengan kata lain, permohonan para pemohon bisa dikabulkan jika mengacu pada asas konstitusional tersebut.
“Perlu diingat pasal 22 itu bukan pasal untuk timses 22 E. Itu untuk semuanya termasuk presiden, termasuk struktur kelembagaan yang diduga terlibat. Jadi semuanya. Kalau misalnya dilihat ada ke titik di manakah KPU atau Bawaslu pun misalnya bisa dibuktikan ada kecurangan ya itu berlaku juga untuk mereka,” kata Herlambang.
Herlambang juga mengritik pandangan bahwa pernyataan para pemohon dianggap sebagai opini. Ia mengingatkan kasus Gibran diakui lewat pemberian sanksi atas putusan MK Nomor 90 sebagai dasar pencalonan Gibran hingga putusan DKPP terkait dengan apa yang telah dilanggar oleh Ketua KPU.
“Jadi sebenarnya saya bilang selalu gegabah karena menyederhanakan masalah, bahwa ini adalah persoalan yang sangat serius. Konflik kepentingan itu jangan dianggap main-main di dalam penyelenggaraan kekuasaan etika negarawan itu seharusnya menjauhi sikap konflik kepentingan dan kita tahu bahwa konflik kepentingan begitu kuat terjadi di dalam proses penyelenggaraan pemilu,” kata Herlambang.