“Sebagai simbol proyek kesayangan Mahathir yang paling kuat dan mahal, Putrajaya tidak dapat dipisahkan dari mantan Perdana Menteri tersebut. Ini membuat Putrajaya sekaligus rentan terhadap kemungkinan pengabaian oleh pemimpin masa depan yang menentang Mahathir dan mega proyeknya dan sebagai model bagi kota-kota Malaysia di masa depan,” terang Sarah Moser dalam tulisannya di Jurnal Elsevier berjudul Putrajaya: Malaysia’s New Federal Administrative Capital (2009).
Empunya kuasa berpuas diri dengan sebagian besar pembangunan Putrajaya yang rangkum. Namun, hal berbeda justru dialami oleh pegawai pemerintahan. Banyak di antara mereka yang ogah pindah ke Putrajaya.
Penolakan itu muncul dengan ragam alasan. Suara yan paling nyaring karena fasilitas di Putrajaya terbatas, dari fasilitas pendidikan hingga kesehatan. Langkah itu diikuti oleh para duta besar negara-negara sahabat yang enggan memindahkan kantor kedutaannya.
Baca Juga:Skema Arus Lalin Lebaran 2024, Polda Jateng Terapkan Sistem One Way, Ganjil-Genap, Pembatasan Angkutan Barang di Jalur Tol-Non TolKejagung Respons KPK yang Minta Hentikan Proses Kasus Dugaan Korupsi di LPEI
Jangankan pegawai pemerintahan dan para duta besar, anggota DPR yang notebene mendukung kehadiran IKN baru justru enggan berkantor di Putrajaya. Mereka memutuskan tetap berkantor di Gedung Parlemen di Kuala Lumpur.
Keengganan itu karena segenap anggota DPR menganggap Kuala Lumpur lebih strategis dibanding Putrajaya. Mereka pun berasumsi bahwa sebaik Putrajaya berfokus kepada urusan administrasi. Sedang Kuala Lumpur sebagai pusat kebijakan dan Parlemen Malaysia harus hadir di dalamnya.
Anggota DPR tak ingin berjarak dengan rakyat Malaysia. Selebihnya, tanpa kehadiran Gedung Parlemen di Putrajaya, pemerintah dapat berhemat banyak dana. Sederet alasan itu membuat anggota DPR tetap berkantor di Gedung parlemen Kuala Lumpur hingga hari ini.
“Dijadikannya Putrajaya sebagai pusat pemerintahan Malaysia sejatinya mengambil contoh Canberra, ibu kota yang menjadi pusat pemerintahan Australia. Bukan tanpa hambatan ketika kawasan ini baru dibangun. Hingga awal 2000, belum banyak pegawai pemerintahan yang berminat pindah dari Kuala Lumpur, meski sudah diperintahkan.”
“Jarak Kuala Lumpur ke Putrajaya sekitar 40 kilometer dan saat itu ditempuh dengan kendaraan pribadi sekitar 1,5 jam. Infrastruktur jalan dan transportasi belum memadai dan rawan akan penyakit malaria. Pada awal dibangun, sedikit pegawai yang mau pindah. Jauh dari mana-mana dan bahkan disebut daerah jin buang anak,” ujar Sukma Loppies dalam tulisannya di koran Tempo berjudul Kota yang Bermula dari Prang Besar (2019). (*)