PENELITI dan Wakil Direktur Asia Maritime Transparency Initiative CSIS Harrison Prétat mengingatkan ekosistem laut di Laut Cina Selatan, memprihatinkan. Banyak pembahasan soal keamanan atau ancaman keamanan di Laut Cina Selatan, namun sedikit yang perhatian pada lingkungan laut dan bagaimana melindungi orang-orang yang hidupnya bergantung pada wilayah laut yang dipersengketakan itu.
Dalam acara press briefing bertajuk ‘Deep Blue Scars Environmental Threats to the South China Sea’ yang diselenggarakan oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) pada Jumat 15 Maret 2024, di Jakarta, disampaikan ada tiga masalah terbesar di Laut Cina Selatan. Pertama pembangunan pulau-pulau buatan di Laut Cina Selatan yang dilakukan beberapa negara bersengketa. Pembangunan ini merusak ekosistem laut karena mengeruk sebagian besar dari terumbu karang (coral reef) hingga menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat besar.
Kedua, pengambilan giant clams di Laut Cina Selatan secara besar-besaran. Di Cina, giant clams harganya sangat mahal. Giant clams seharusnya diambil di area permukaan saja, namun yang terjadi di Laut Cina Selatan, pengambilan giant clams sampai dikeruk sehingga menimbulkan banyak baret (scars) di dareah coastal, dan membahayakan lingkungan laut.
Baca Juga:Mantan Pejabat Dirjen Pajak Kemenkeu Rafael Alun Trisambodo Tetap Dihukum 14 Tahun, Rekam Jejak Sidang KasusnyaRekonsiliasi Partai Politik Jalan Terbaik Bangun Bangsa
Ketiga, aktivitas yang mengganggu seperti penangkapan ikan berlebihan atau penangkapan ikan secara ilegal. Aktvitas memancing di Laut Cina Selatan baru naik pada 1980 atau ketika Beijing memberi subsidi perikanan sehingga semakin banyak nelayan Cina mencari ikan di Laut Cina Selatan. Stok ikan di seluruh dunia sudah mulai turun sejak 1990-an dan sekarang untuk mendapatkan ikan usaha yang dilakukan para nelayan harus sampai dua kali lipat.
“Ada konsekuensi dari sengketa itu dan penangkapan ikan besar-besaran oleh nelayan Cina. Konsekuensinya yakni kerusakan pada terumbu karang. Lingkungan bawah laut membutuhkan waktu untuk pemulihan dan tumbuh kembali hingga puluhan tahun,” kata Harrison.
Menurut Harrison, kerusakan pada terumbu karang di Laut Cina Selatan bisa jadi faktanya lebih buruk dari temuan riset yang dilakukan pihaknya. Sebab terumbu karang yang ada di bawah laut tidak bisa terpotret lewat satelit.