Pada masa lampau ketinggian air sungai Semarang menjadi berkah. Pasalnya kapal-kapal yang masuk dari laut bisa berlayar aman jauh ke hulu.
Seiring dengan pertambahan warga kota dan perluasan area pemukiman, air berlebih justru menjadi momok bagi warga. Karena banjir bisa menghancurkan rumah warga.
Wilayah Semarang terdiri dari dataran rendah di sebelah utara dan daerah perbukitan di sebelah selatan yang mencapai 350 meter di atas permukaan laut. Lantas pada zaman Belanda disusun konsep pengendali banjir dengan membangun Banjir Kanal Barat (BKB) pada tahun 1879 dan Banjir Kanal Timur (BKT) tahun 1890an.
Baca Juga:Perjalanan KA Jarak Jauh dari Stasiun Gambir dan Pasar Senen Alami Gangguan Akibat Banjir SemarangMoU KAI Commuter-JRTM Jepang, Investasi Suku Cadang dan Perawatan Saraa KRL Senilai Rp734 Miliar
BKB dan BKT itulah yang menjadi penangkal banjir di Kota Semarang saat debit sungai sedang tinggi. Selain untuk mengatasi permasalahan banjir, kanalisasi yang dibangun pemerintah Hindia-Belanda dimanfaatkan juga bisa digunakan petani untuk mengairi lahan pertanian di Kota Semarang.
Berdasarkan beberapa penelitian penurunan permukaan tanah di kawasan pesisir Kota Semarang sudah mencapai lebih dari 10 sentimeter setiap tahun. Penurunan permukaan tanah di kawasan pesisir Kota Semarang diperparah karena adanya pengambilan air tanah yang eksploitatif.
Selain itu, penyebab lainnya yakni karena adanya pembebanan bangunan. Pasalnya kawasan pesisir Kota Semarang itu dinilai masih tanah muda, yang artinya mengalami pemampatan terus menerus. Jadi tanpa ada beban pun sebenarnya tanahnya akan menurun. Belum lagi kalau ada beban di atasnya. (*)