Dalam menyambut bulan suci Ramadan Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat, menggelar tradisi tabuh bedug atau “Dlugdag” untuk menandai awal puasa Ramadhan 1445 Hijriah, usai melaksanakan ibadah shalat ashar di Langgar Agung tepat sehari sebelum bulan Ramadan tiba, Senin (11/3/2024).
Pangeran Goemelar Suryadiningrat selaku Patih Sepuh Keraton Kasepuhan Cirebon menyampaikan, ini merupakan tradisi dalam menyambut bulan suci Ramadhan 2024, berdasarkan tadi malam hasil sidang isbat. Kementerian Agama RI menentukan besok (12/3) kita sudah berpuasa, dan tradisi ini juga sudah berlangsung lama dimulai pada zaman Syekh Syarif Hidayatulloh atau Sunan Gunung Jati.
Ia menjelaskan, tradisi Dlugdag ini sebagai penanda masuknya bulan suci Ramadan. Mengingat dahulu belum ada pengeras suara, oleh karena itu tabuhan bedug ini sebagai penanda informasi bagi masyarakat di kala itu.
Goemelar menyampaikan tradisi “Dlugdag” sudah berjalan sejak ratusan tahun lalu dan masih eksis hingga saat ini, karena Keraton Kasepuhan terus melestarikan kebiasaan tersebut.
Baca Juga:Misi Pencarian Kotak Hitam dan Flight Data Recorder Pesawat Pilatus PC-6 Porter PK-SNE Smart AviationKemenag: Gus Miftah Gagal Paham Soal Surat Edaran Tentang Penggunaan Speaker di Masjid-Musalla
Tradisi tersebut, kata dia, dilakukan juga oleh Sunan Gunung Jati pada masa lampau untuk menyebarkan agama Islam di Cirebon dan sekitarnya.
Pada masa lalu, katanya, Sunan Gunung Jati sering melakukan akulturasi budaya dengan menyelipkan ajaran-ajaran Islam pada kesenian daerah, salah satunya tradisi “Dlugdag”.
“Kita berharap masyarakat di Kota Cirebon bisa melakukan ibadah puasa dengan lancar dan bisa menjaga toleransi dengan pemeluk agama lainnya,” ujarnya.
Ia menjelaskan dalam tradisi ini, para patih hingga abdi dalem berkumpul di area Langgar Keraton Kasepuhan untuk menabuh bedug berusia ratusan tahun bernama Samogiri.
Setelah itu, kata dia, secara bergantian mereka menabuh bedug peninggalan Sunan Gunung Jati itu dengan beragam bunyi.
Ia menjelaskan setiap lantunan suara sebagai bermakna bagi masyarakat yang menanti saat datang bulan puasa Ramadan.
Ia menyebut pada prinsipnya tradisi ini berfungsi sebagai tanda waktu shalat, pengingat datangnya bulan suci Ramadhan, serta menjadi sarana untuk menyalurkan gembira dalam menjalankan ibadah puasa.
“Memang ada beberapa yang beda penentuannya. Tapi dalam perbedaan itu kita tetap melaksanakan ibadah puasa bersama-sama. Maknanya kita menyambut datangnya Ramadan dengan suka cita,” ujarnya.