Masyarakat tradisional Indonesia memang punya kepercayaan pada pesugihan. Mereka juga punya premis keterbatasan sumber daya untuk dilipatgandakan. Akibatnya, mereka mudah curiga dan sering menuduh orang kaya di sekitarnya sebagai pelaku pesugihan.
Kepercayaan pada pesugihan itu akhirnya menjadi mitos karena sulit dibuktikan kebenarannya. Mitos itu tetap bertahan walau masyarakat sudah berubah, kesejahteraan makin baik dan semangat keagamaannya menguat. Bukan soal benar atau salah yang membuat pesugihan langgeng, tetapi karena kepercayaan itu terus menerus diwariskan tanpa sadar dari generasi ke generasi.
.Saat teknologi digital menggurita dan menyentuh berbagai aspek kehidupan, pesugihan turut berevolusi. Jika dulu orang mencari pesugihan harus mendatangi ”orang pintar” dulu, kini cukup dilakukan dengan menggerakkan jari. Hanya dengan membuka Play Store yang ada di telepon pintar berbasis Android, berbagai aplikasi pesugihan tersedia. Pengaksesnya tentu orang yang melek teknologi, tapi mereka tetap percaya mitos pesugihan.
Baca Juga:7 Tahun Lalu, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan Makzulkan Presiden Korsel Park Geun-hye6 Perusahaan Rapor Merah Segera Dipanggil, Erick Thohir: BCOMSS 2024 Pendorong Keterbukaan Informasi Perusahaan BUMN Semakin Transparan
Heru menambahkan, modernisasi sering kali justru memperkuat agama atau kepercayaan tertentu. Bahkan, sebagian orang justru memanfaatkan hal-hal magis yang ditawarkan agama atau kepercayaan itu untuk untuk mencapai tujuan-tujuan modernitasnya.
Indonesia sebenarnya tetap bergerak menjadi bangsa yang modern. Namun, dalam proses modernitas itu, banyak masyarakat yang tertinggal. Mereka masih sulit melepaskan kepercayaan religiomagisnya sebagai ciri masyarakat tradisional. Sementara mendayagunakan rasionalitasnya guna menyelesaikan berbagai persoalan hidup dan meningkatkan produktivitasnya sebagai ciri modernitas masih sulit dilakukan.
”Modernitas butuh proses,” ujar Heru tegas. Karenanya, wajar jika selama menuju modernitas itu akan ada kepercayaan tradisional yang menyertai masyarakat. Toh lambat laun pasti akan terjadi pengkritisan atas kepercayaan tersebut meski tidak bisa serta merta. Selain itu, kecepatan perubahan antarindividu juga berbeda.
Namun, dalam mencapai modernitas itu tidak bisa diserahkan hanya kepada masyarakat. Negara punya andil besar untuk mewujudkan dan mempercepat proses modernisasi tersebut. Kebijakan adil bagi semua orang untuk mempunyai peluang maju dan mendapat kekayaan penting dilakukan negara untuk makin meminimalkan kepercayaan akan pesugihan.
Di sisi lain, pendidikan kebudayaan di sekolah harus dilaksanakan secara benar. Selama ini, yang terjadi justru peminggiran budaya lokal karena dianggap jelek, kuno dan tertinggal serta membesarkan budaya luar. Cara pahlawan Raden Ajeng Kartini yang mengkritik budaya yang dianggap tidak pas dan terus mendorong budaya sendiri yang adiluhung bisa dicontoh.