Pesugihan putih tidak menghendaki tumbal, sedangkan pesugihan hitam harus ada tumbal yang terkadang sampai mengorbankan keluarga sendiri. Namun, kedua bentuk pesugihan itu sama-sama memiliki syarat yang harus dijalankan dan ditepati jika ingin mendapat pesugihan, baik berupa sajen atau laku tertentu.
Peneliti psikologi budaya dan dosen Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Nanum Sofia, tesisnya tahun pada 2009 membahas Psikoetnografi Pelaku Pesugihan, khususnya pesugihan putih.
”Laku pesugihan tidak mengenal status sosial, pendidikan, atau jender. Semua orang, dari berbagai kalangan, bisa melakukannya,” ungkap Heru.
Baca Juga:7 Tahun Lalu, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan Makzulkan Presiden Korsel Park Geun-hye6 Perusahaan Rapor Merah Segera Dipanggil, Erick Thohir: BCOMSS 2024 Pendorong Keterbukaan Informasi Perusahaan BUMN Semakin Transparan
Onesius Otenieli Daeli dalam Pesugihan: Hubungan Uang dan Mistik dalam Perspektif Antropologi di ECF Filsafat Uang No 1 tahun 2015 menulis pesugihan merupakan kreasi dan keterampilan manusia dalam mengolah berbagai kemungkinan yang ada, termasuk dengan memanfaatkan daya magis. Pesugihan merupakan salah satu strategi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Mereka yang menjalani laku pesugihan, lanjut Heru, memiliki pola pikir yang bersifat instan dan pragmatis, dan apa yang diinginkan saat ini harus terwujud sekarang. Mereka memiliki orientasi hidup duniawi dan tujuan hidup jangka pendek sehingga tidak mengindahkan normal sosial dan agama yang dilanggarnya.
Etos kerja pelaku pesugihan jelas rendah. Mereka ingin cepat kaya tanpa perlu bersusah payah. Mereka sangat mengagungkan materi tetapi tidak memiliki daya kerja yang baik. ”Mereka mengalami kesalahan berpikir hingga menjadikan materi sebagai tujuan hidup dan tolok ukur kebahagiaan,” tambahnya.
Selain itu, sebagian besar pelaku pesugihan pernah mengalami ketidakberdayaan atau masa-masa sulit yang panjang. Pengalaman tidak mengenakkan itu mendorong mereka melakukan hal-hal yang tidak umum, tetapi bisa membuat mereka cepat mencapai tujuan.
Memang tidak semua masyarakat memercayai adanya pesugihan. Mereka yang meyakini umumnya percaya akan hal-hal mistis dan mengagungkan keajaiban. Masyarakat yang lebih rasional cenderung tidak akan meyakininya, meski mereka tetap punya peluang ”jatuh” untuk meyakini, bahkan ikut menjalani laku pesugihan.
Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia, Sebuah Pertanggungjawaban tahun 1977 telah menyebut beberapa ciri manusia Indonesia, antara lain, percaya takhayul, boros, tetapi tidak suka kerja keras. Setelah lebih 40 tahun berlalu, ciri-ciri itu tetap ada dalam masyarakat Indonesia.