TUJUH tahun yang lalu, 10 Maret 2017, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan (Korsel) memutuskan untuk memakzulkan Park Geun-hye dari jabatannya sebagai orang nomor satu Negeri Ginseng. Presiden Korsel itu dianggap terbukti melakukan tindakan tak terpuji, dari pemerasan dan korupsi.
Sebelumnya, Park Geun-hye bukan orang baru dalam dunia politik Korsel. Ia dikenal luas sebagai anak dari Presiden Korsel ke-3, Park Chung-hee. Karisma ayahnya kemudian menular. Park Geun-hye jadi Presiden wanita pertama Korsel.
Boleh jadi kepemimpinan Park Chung-hee sebagai presiden era 1962-1979 membawa dilema besar bagi seisi Korsel. Sosok itu mempu membuat pertumbuhan ekonomi Korsel melejit. Pembangunan dilakukan di mana-mana, dari kota hingga desa.
Baca Juga:6 Perusahaan Rapor Merah Segera Dipanggil, Erick Thohir: BCOMSS 2024 Pendorong Keterbukaan Informasi Perusahaan BUMN Semakin TransparanPosIND Raih 3 Penghargaan Pada Malam Penganugerahan BCOMSS 2024
Masalah muncul. Kepemimpinan Park Chung-hee terkenal otoriter. Park Chung-hee doyan membungkam kritik mahasiswa. Mereka yang mengkritik akan diburu dan diculik. Namun, fakta itu tak memengaruhi gelarnya sebagai presiden terbaik yang pernah memimpin Korsel.
Fakta itu tersaji kala Park Chung-hee meninggal dunia karena dibunuh pada 1979. Seisi Korsel berduka. Kematiannya kemudian mengakhiri 17 tahun kuasanya memimpin Korsel. Nyatanya, penerus Park Chung-hee tiada yang mampu melewati prestasinya membangun Korsel.
Kondisi itu membuat Rakyat Korsel rindu akan sosoknya. Alih-alih terus berkhayal Park Chung-hee hidup kembali, segenap rakyat Korsel pun perlahan-lahan mengalihkan dukungan kepada anak Park Chung-hee, Park Geun-hye.
Sosok itu pernah dianggap bak juru selamat Korsel menuju kegemilangan. Sosok wanita itu dianggap jawaban dari sederet permasalahan Korsel. Antara lain meningkatnya angka pengangguran, ketimpangan pendapatan pria-wanita, turunnya angka kelahiran, dan mengatur peran perusahaan besar di Korsel.
Kondisi itu membuatnya unggul dalam Pemilu 2012. Ia pun secara resmi menjadi Presiden Korsel yang baru 2013.
“Jika terpilih sebagai presiden mengalahkan Moon Jae-in dari Partai Uni Demokratik, perempuan 60 tahun itu akan menghadapi segudang tantangan, baik dari sektor politik maupun ekonomi. Misalkan, perseteruan dengan musuh bebuyutan Korea Utara, meningkatnya angka pengangguran, turunnya angka kelahiran, serta peran perusahaan-perusahaan besar dalam kancah politik Korea Selatan.”
“Namun, tantangan terbesar Geun-hye adalah ketimpangan perlakuan terhadap perempuan Korsel. Forum Ekonomi Dunia melansir dalam laporan awal tahun ini bahwa Korsel ternyata menempati posisi ke-108 dari 135 negara di dunia dalam kesetaraan gender. Posisi Korsel satu peringkat di bawah Uni Emirat Arab dan setingkat di atas Kuwait,” terang Sita Planasari Aquadini dalam tulisannya di koran Tempo berjudul Park Geun-Hye Mencatat Sejarah (2012).