Hal ini jauh berbanding terbalik dengan kiprah mereka selama Orde Baru (Orba). Padahal, Partai Golkar dinilai memiliki mesin politik yang sangat baik sebagai warisan dari era Orba.
Meskipun ada sisi positifnya dengan menghilangkan ketergantungan kepada sosok tertentu, ketiadaan ketokohan yang kuat dari Partai Golkar itu tampaknya membuat mereka sedikit limbung.
Asep Nurjaman dalam publikasi berjudul Masa Depan Faksionalisme Politik Golkar Pasca Orde Baru menjelaskan jika dibandingkan dengan dua organisasi sosial politik (orsospol) warisan Orba lainnya (Golkar, PDIP, PPP), Partai Golkar memiliki kesamaan dengan PPP, yakni tak memiliki tokoh sentral dominan dalam kekuasaan internal partai.
Baca Juga:Bertugas Menjaga Tinta di TPS, Anggota KPPS Ini Meninggal DuniaKejagung Tetapkan 2 Tersangka di Kasus Dugaan Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah
Meski jamak yang mengatakan terdapat plus dan minusnya, dalam dinamika politik saat ini hal itu kiranya justru menjadi kelemahan Partai Golkar saat ini.
Nama Jusuf Kalla (JK) tampaknya sejauh ini menjadi nama terakhir yang memegang pengaruh cukup tinggi dalam personal maupun internal partai.
Namun, JK pun belum bisa menolong kebangkitan partai berlambang pohon beringin itu. Justru, kekalahannya di Pilpres 2009 seolah semakin memperlihatkan kurangnya sosok yang dominan di internal Golkar ditengah bertaburnya elite politik tenar di dalamnya.
Mantan Ketum Golkar Akbar Tandjung dalam bukunya The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik mengatakan jika Partai Golkar sebagai catch-all party yang fleksibel untuk bersinergi dan menarik massa dari berbagai karakteristik, latar belakang, dan ideologi.
Hal ini terlihat dari munculnya berbagai macam faksi di dalam internal partai. Jika diidentifikasi lebih dalam, terdapat tiga faksi besar di dalam Partai Golkar, yakni faksi Hijau Islam (ICMI hingga HMI), faksi Hijau Militer, dan faksi pengusaha.
Kendati demikian, ketiga faksi tersebut bisa saling memiliki irisan dan positifnya, bisa saling merekatkan kepentingan satu sama lain.
Menariknya, “konflik kepentingan” yang muncul dalam ketiga faksi besar seolah mengalami pergeseran, tak lagi berbasis fungsional, melainkan berbasis kelompok pertemanan.
Baca Juga:ESDM: Hulu Migas Indonesia Berpotensi Menyimpan Karbon, Ada 20 CekunganApa Itu Resesi Ekonomi ?
Namun, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dari semua faksi yang ada di dalam Partai Golkar, belum ada satu pun tokoh yang kiranya dirasa cocok dengan elektabilitas yang mumpuni untuk menjadi representasi Partai Golkar di level nasional.