Tahun 1600-an, perempuan lokal yang melayani kaum pendatang Tionghoa tersebut dianggap sangat wajar dan normal. Mereka disebut ca bau kan, yang berarti perempuan dalam Bahasa Hokian. Sebutan ini disematkan kepada perempuan yang diperistri atau melayani para pendatang Manchuria tersebut.
Hal ini kemudian berkembang, daerah Kalijodo tak hanya menjadi surga bagi pendatang Manchuria saja untuk mencari jodoh, tetapi juga orang dari beragam daerah di nusantara. Sehingga daerah Kalijodo dikenal sebagai pusat hiburan dan ramai akan perdagangan.
Asal mula nama Kalijodo juga tak lepas dari sejarah kultural geografisnya. Setiap tanggal lima bulan kelima, dalam tradisi Tionghoa, selalu diadakan acara peh cun di Kali Angke. Tradisi Peh cun memiliki arti mendayung perahu, dan merupakan tradisi terbesar bagi warga keturunan Tionghoa. Acara ini digunakan untuk mencari jodoh. Jika tertarik oleh salah satu gadis, bisa melemparkan sebuah kue berisi kacang hijau kepadanya. Bila sang perempuan melemparkan balik, itu berarti gayung bersambut. Hingga kini, kata Peh Cun mengalami perubahan penyorasi makna sebagai pelacur. Baru pada tahun 1950-an, nama Kalijodo resmi digunakan.
Baca Juga:Harapan Hadi Tjahjanto ke Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono: Gebug Mafia TanahPesan Khusus Jokowi ke Menko Polhukam Hadi Tjahjanto
Upaya menggusur atau merelokasi Kalijodo, sudah diupayakan sejak tahun 1920-an. Kawasan yang ranum ini, direbutkan oleh pembesar karena investasi bisnis yang didatangkannya. Mantan Walikota Jakarta Utara, Rustam Effendi, pernah menyebutkan, besaran transaksi yang terjadi tiap harinya di Kalijodo bisa mencapai satu milyar rupiah. Tiga kategori bisnis yang menyokong kegiatan jual beli di Kalijodo antara lain, bisnis perjudian, prostitusi, karaoke dan minuman keras.
Perputaran bisnis tersebut, telah menghidupi para warga yang berdiam di sana hingga dapat hidup lebih dari cukup. Mulai dari tukang parkir, tukang ojek, warung kelontong, pengelola rumah kontrakan, ikut mendulang untung. Seorang Pekerja Seks Komersial (PSK), bahkan dapat mengumpulkan Rp10 juta hingga Rp30 juta perbulan.
Walaupun dalam termin moral, bisnis yang dijalankan selama lebih ratusan ini dikategorikan haram, tak ada pemerintah yang benar-benar bisa melumpuhkan tempat tersebut selain Ahok. Sejak dulu, para pengusaha berpatron dengan pemerintah dan penjaga sekitar menjaga keberlangsungan bisnis lokalisasi Kalijodo.