Jika KPU tengah dalam kondisi force majeure, kata dia, mestinya penghentian proses rekapitulasi hanya dilakukan di daerah terdampak.
“Jadi misalnya gempa bumi atau kerusuhan terjadi di di daerah A, maka penghentian rekapitulasi hanya terjadi di daerah A. Ini kok kami dapat informasi bahwa penghentian terjadi di seluruh Indonesia,” tutut Deddy.
Karena itu, PDIP menduga ada motif tertentu dibalik penghentian tersebut. Pertama, menyangkut persaingan ketat PDIP dengan Partai Golkar sebagai peraih kursi terbanyak di Pemilu. Peraih kursi terbanyak nantinya akan mendapat jatah Ketua DPR.
Baca Juga:Fakta Perbedaan Pilpres Bikin Hubungan PecahFenomena Lima Tahunan, Kisah Para Caleg-Timses Gagal Berujung Galau
“Kebetulan jumlah suara kedua partai itu berhimpitan. Memang dari jumlah suara, PDIP teratas. Tapi terkait jumlah kursi, itu kaitannya dengan sebaran suara yang menghadirkan kursi. Ada peluang kecil Golkar bisa didorong mendapat jumlah kursi terbanyak. Itu dugaan pertama yang banyak dibahas di bawah,” jelas Deddy.
Kedua, PDIP menduga ada salah satu parpol yang sebenarnya tidak lolos ambang batas parlemen alias parliamentary threshold, hendak dipaksakan lolos ke parlemen. Menurutnya, partai ini masih dekat dengan penguasa di Istana.
“Ada kuat kecurigaan upaya tersistematis untuk memenangkan salah satu konstestan pemilu. Saya dengar kabar bahwa ada operasi agar suara partai kecil akan diambil untuk dialihkan, terutama Partai Perindo, Gelora dan Partai Ummat,” katanya.
Deddy berharap KPU memberi penjelasan yang selengkapnya kepada publik untuk mengatasi kesimpangsiuran dan dugaan tersebut.
“Kalau dibiarkan, akan banyak yang teriak bahwa kuat kecenderungan KPU sedang melakukan kejahatan kepemiluan kalau dasarnya Sirekap, bukan force majeure yang sebenarnya. Maka kami memohon KPU harus memberikan penjelasan tentang informasi adanya penghentian proses rekapitulasi ini,” ucap Deddy. (*)