”Kalau Sirekap-nya bermasalah, seharusnya bisa diperbaiki tanpa harus ditutup. Justru kalau Sirekap ditutup, ruang pengawasan semakin sulit,” ujarnya.
Lebih jauh, Sirekap bukan acuan dalam penetapan hasil rekapitulasi suara. Oleh karena itu, pembetulan terhadap pembacaan sistem yang salah tetap bisa dilakukan karena tidak berdampak langsung pada penetapan hasil. KPU pun mesti selalu menginformasikan kepada publik pembetulan dari setiap kesalahan yang ditemukan untuk meyakinkan data di Sirekap sudah benar.
Jika KPU tetap menutup Sirekap, lanjutnya, pilihan publik untuk mengawasi rekapitulasi suara semakin terbatas. Salah satunya, publik bisa membandingkan penetapan hasil dengan hitung cepat berbagai lembaga. Namun, hasil hitung cepat hanya menggambarkan hasil keseluruhan tanpa bisa melihat secara detail di TPS.
Baca Juga:Fakta Perbedaan Pilpres Bikin Hubungan PecahFenomena Lima Tahunan, Kisah Para Caleg-Timses Gagal Berujung Galau
”Jika Sirekap tetap dibuka, publik tetap bisa mengawal suara secara lebih detail karena ada dokumen otentik formulir C.Hasil,” pungkasnya.
Selain politikus PAN Heru Subagia, dari PDI Perjuangan turut menyampaikan pendapat, Deddy Yevri Sitorus meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberikan penjelasan atas adanya perintah kepada aparat penyelenggara pemilu ke daerah untuk menghentikan proses rekapitulasi suara di tingkat kecamatan.
Deddy menyebut perintah itu memunculkan dugaan upaya tersistematis mengakali suara hasil pemilu.
Upaya tersebut dilakukan demi utak atik kursi berujung pada jatah Ketua DPR periode 2024-2029, dan atau demi meloloskan salah satu parpol tertentu pesanan penguasa ke parlemen.
Ia mengaku kaget ketika mendengar penghentian proses rekapitulasi suara pemilu di tingkat kecamatan di Kalimantan Utara.
“Ada informasi di daerah bahwa KPU Pusat memerintahkan penghentian rekapitulasi suara di tingkat kecamatan. yang mana hal itu tak dikonsultasikan dengan peserta pemilu dan komisi II DPR,” kata Deddy dalam keterangannya, Minggu (18/2).
Deddy berpendapat penghentian proses rekapitulasi sah saja dilakukan oleh KPU, namun dengan syarat dalam kondisi force majeure. Kondisi force majeure adalah seperti kejadian gempa bumi atau kerusuhan massa.
Baca Juga:Hasto Kristiyanto Tegaskan Siap Jadi Oposisi, Jokowi: Ya Ditanyakan Saja kepada Beliau-beliau yang Ada di PDI PerjuanganUngkap Pertemuan dengan Ketum NasDem Surya Paloh, Presiden Jokowi: Saya Jadi Jembatan
“Kami dapat informasi alasannya penghentian adalah karena sistem Sirekap mengalami kendala di pembacaan data. Padahal Sirekap itu bukan metode penghitungan suara yang resmi dan sah. Rujukan perhitungan suara adalah rekapitulasi berjenjang, atau C1 manual,” ujarnya.