DI tengah proses pemilu yang belum rampung, Presiden Jokowi bertemu Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh di Istana, Minggu malam (18/2/2024). Dalam pertemuan itu, banyak yang dibahas termasuk persoalan politik.
Pertemuan Jokowi dengan Surya Paloh pun memunculkan spekulasi. Terlebih, ketika Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan fungsionaris PKS mengonfirmasi bahwa manuver Paloh itu tidak atas sepengetahuan partai-partai Koalisi Perubahan lainnya.
“Karena itu, wajar kalau saat ini santer gonjang-ganjing di internal Koalisi Perubahan yang mulai gusar karena khawatir merasa akan dikhianati. Mulai muncul pertanyaan-pertanyaan di internal PKS dan PKB tentang komitmen spirit perubahan dalam diri Paloh dan Nasdem,” kata Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (INDOSTRATEGIC) Ahmad Khoirul Umam kepada wartawan, Senin (19/2).
Baca Juga:Yulia Navalnaya, Istri Mendiang Tokoh Oposisi Rusia Alexei Navalny Hadir di Pertemuan Menteri Luar Negeri Uni EropaEksepsi Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan LNG, Karen Agustiawan Minta KPK Periksa Corpus Christi Liquefaction dan Blackstone
“Selain itu, manuver Paloh ini seolah membenarkan penyataan Capres Nomor Urut 1 Anies Baswedan dalam debat Capres pertama, yang pernah menyatakan banyak pemimpin politik yang tidak tahan menjadi oposisi, karena membuat mereka tidak bisa berbisnis,” Ia menambahkan.
Umam mengungkapkan, manuver Paloh ini tampaknya memanfaatkan momentum pasca statemen Capres terpilih Prabowo Subianto, yang menyatakan siap merangkul semua pihak di Kubu 01 dan 03 untuk memperkuat pemerintahannya. Terlebih, realitas Pilpres 2024 tidak menghadirkan coat-tail effect sama sekali, dimana partainya Capres harus berpuas diri di peringkat ketiga dengan elektabilitas 13 persen.
“Konsekuensinya, Prabowo akan memiliki tingkat ketergantungan politik (political dependency) yang sangat tinggi untuk menjaga stabilitas politik dan pemerintahannya di fase transisi awal kekuasaan yang seringkali penuh turbulensi. Untuk mengamankan itu, Prabowo setidaknya harus bisa mengumpulkan sekitar 70 persen kekuatan politik di parlemen,” ujar dia.
Peluang Emas Partai Menengah Putar Haluan
Kesempatan ini menurutnya, seolah menjadi peluang emas bagi partai-partai menengah dan mediocre untuk putar balik dari koalisi lama, dengan membelot pada kubu pemenang. Sebab, partai-partai kelas tengah cenderung tidak siap berhadap-hadapan dengan kekuasaan.
“Mereka juga tampaknya tidak siap untuk menanggung risiko dan konsekuensi ekonomi-politik dan stabilitas internal partainya, ketika mereka harus berpuasa dari kekuasaan,” ujar dia.
Problemnya, kata Dosen Ilmu Politik & International Studies Universitas Paramadina ini, keputusan untuk bergabung dengan kekuasaan ini merupakan ujian riil terhadap konsistensi atau keistiqomahan partai-partai politik itu terhadap gerakan perubahan dan narasi kritis yang mereka usung selama kampanye jelang Pemilu 2024 lalu.