“Akan tetapi, ketika dukungan rakyat tidak terpenuhi, padahal partai tersebut tidak hendak bergabung dengan pemerintahan koalisi, partai tersebut akan berperan menjadi oposisi,” jelas Tuswoyo.
Dalam persoalan strategis, partai oposisi harus memiliki justifikasi ideologi yang berbeda dengan orientasi ideologi pemerintah. Justifikasi ideologi akan memudahkan partai oposisi untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa. Sebab, dengan adanya perbedaan ideologi, partai oposisi dapat melihat kebijakan pemerintah dalam sudut padang yang berbeda secara ideologis.
Masalah persamaan ideologis partai oposisi dengan petahana ini pernah dialami PDIP saat awal-awal menyatakan sebagai oposisi dalam pemerintahan SBY. PDIP yang dipegang Megawati Soekarnoputri selaku ketua umum partai menerapkan orientasi liberal dalam menjalankan pemerintahan. Orientasi serupa juga dianut SBY-JK.
Baca Juga:Protes, Keracunan dan Penjara: Kehidupan dan Kematian Pemimpin Oposisi Rusia Alexei NavalnyParade Suporter Kansas City Chiefs Dikejutkan Teror Penembakan Massal, Bagaimana Nasib Kota Kansas?
Orientasi liberal yang diterapkan PDIP sebelumnya itu memperkuat anggapan bahwa antara pemerintah dan partai oposisi tak memiliki perbedaan orientasi ideologi. PDIP pun dianggap tidak layak menjadi partai oposisi karena tidak memiliki justifikasi ideologi yang dapat dijadikan pembeda. Sehingga PDIP tak punya sarana untuk mempersoalkan kebijakan pemerintah dalam perspektif ideologi.
Untuk menyanggah tudingan itu, maka disusunlah Format Oposisi PDIP. Salah satunya berkaitan dengan justifikasi ideologi yang dapat dibedakan dengan ideologi pemerintah. Isi Format Oposisi PDIP memberikan penekanan pada kepentingan “wong cilik” sekaligus menjelaskan sikap politik PDIP yang tak lagi liberal. Sebagaimana diamanatkan Kongres Kedua PDIP di Bali pada 2005, PDIP lalu mendeklarasikan orientasi ideologinya menjadi ekonomi nasionalistis. (*)