Menurut dia, semestinya KPK harus tegak lurus berada di rel penegakan hukum, bukannya ikut masuk dalam rel politik. Padahal, katanya, KPK pernah menangani kasus di saat masa pemilu, yang disebut sarat terjadinya transaksi akibat tingginya biaya politik.
“Bayangkan apabila KPK sebagai lembaga percontohan malah berbuat sebaliknya, bagaimana lembaga penegak hukum lainnya yang berkoordinasi langsung dengan presiden dapat mencontoh,” ucapnya.
KPK telah menggelar operasi tangkap tangan atau OTT di Sidoarjo pada Kamis, 25 Januari 2024.
Baca Juga:OpenAI Bakal Bikin Situs Pencarian Saingi GooglePetugas KPPS Meninggal Dunia Usai Kecelakaan Tunggal Saat Bawa Logistik Pemilu
Dalam OTT itu, tim penyidik KPK telah melakukan penggeledahan di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur pada Selasa, 30 Januari 2024. Penggeledahan dilakukan di Pendopo Delta Wibawa, Kantor BPPD, hingga rumah Bupati Sidoarjo.
Tim penyidik kemudian menemukan barang bukti berupa berbagai dokumen dugaan pemotongan dana insentif. “Ada juga ada bukti lain alat elektronik dan 3 unit mobil di rumah kepala BPPD,” ucap Ali Fikri, 1 Februari lalu di kantornya.
Penyidik juga menemukan sejumlah uang, termasuk dalam bentuk mata uang asing. Namun, KPK belum bisa mengumumkan nominal uang yang ditemukan karena harus memeriksa barang bukti itu lebih lanjut.
“Kami harus konfirmasi dulu. Kaitannya uang itu untuk apa? Apakah nanti juga dilakukan penyitaan, dan seterusnya. Jadi ditunggu dulu,” ucapnya.
Mengenai dugaan penemuan atribut capres-cawapres di rumah bupati, Ali menyatakan belum menerima informasi tersebut. “Mengenai temuan uang, betul, tapi soal atribut saya malah tidak terinfo,” katanya.
Dalam OTT di Sidoarjo tersebut, KPK menahan satu tersangka pada 25 Januari lalu. Tersangka itu adalah Siska Wati, Kepala Sub Bagian (Kasubag) Umum BPPD Pemkab Sidoarjo. KPK menyita uang tunai sekitar Rp 69,9 juta dari dugaan pemotongan dan penerimaan uang sekitar Rp 2,7 miliar pada 2023. (*)